Kota Bakhmut (Provinsi Donetsk, Ukraina) sesungguhnya biasa-biasa saja dalam beberapa hal. Luasnya cuma 46 km persegi saja atau sedikit lebih besar dari luas kota Yogyakarta. Namun jika dibandingkan dengan Jakarta kira-kira 1/14 dari luas Jakarta.
Dari sisi jumlah penduduk juga biasa-biasa saja. Sebelum perang dimulai pada 24 Februari 2022, jumlah penduduknya tidak sampai 73.000-an jiwa. Kini yang masih bertahan di puing-puing reruntuhan bangunan dan perlindungan bawah tanah tidak sampai 10%.
Meskipun etnis Ukraina mendominasi populasi (69%) dan Rusia (27%) namun bahasa dominan di kota itu justru bahasa Rusia (62%) dan bahasa Ukraina 35% (sebelum perang).
Dari sisi jumlah populasi, luas wilayah, potensi ekonomi, industri wisata, Bakhmutsk nyaris biasa-biasa saja.
Dalam urusan pendidikan hanya ada 20 sekolah dan 29 Taman Kanak-kanak sebelum pecah perang.
Meski biasa-biasa saja, kota ranking ke 52 terluas di Ukraina yang memiliki suhu rata-rata 14 derajat celsius sepanjang tahun itu sangatlah eksotik bagi Rusia.
Nama kota Bakhmut pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1571 oleh Ivan "the Terrible' atau Ivan IV Valsiyevich (Tsar pertama Rusia). Kota itu telah silih berganti nama antara Bakhmut dengan Artemovsk beberapa kali.
- Antara tahun 1571 hingga 1924 disebut "Bakhmut"
- 1924 - 1941 "Artemovsk," sebutan orang Rusia
- 1942 - 1943 "Bakhmut," sebutan orang Ukraina
- 1943 - `2016` "Artemovsk"
- 2016 - sekarang "Bakhmut
Terkait perang Ukraina, Bahkmut sangatlah eksotik bagi Rusia karena dari kota itu menjadi "batu loncatan" guna menguasai dua kota besar terdekat lainnya yaitu Slovyansk dan Krematorsk.
Jika mampu menguasai Bakhmut dan sekitarnya berarti melengkapi seluruh penguasaan provinsi Dotensk. Target tersebut termasuk satu dari sejumlah alasan mengapa Rusia sangat terpikat pada Bakhmut.
Di sisi lain Ukraina berusaha mempertahankan mati-matian kota itu dengan menyediakan petempur dalam jumlah berlimpah. Puluhan ribu pasukan Ukraina, milisi dan legiun asing bercokol di sana menjadi tantangan serius Rusia.