Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Indonesia - Prancis akhirnya menandatangani perjanjian kontrak senilai US$8,1 miliar dalam pengadaan 42 unit pesawat tempur generasi 4,5 Dasssault Rafale pada 10 Februari 2022 di Jakarta.
Tidak jelas apakah kontrak tersebut untuk rafale tipe C, B atau M atau campuran. Selain sebutan tersebut ada sebutan lain untuk tipe Rafale yaitu F1 standard, F2 dan F3 bahkan F4 yang paling mutakhir, namun dengan konsep umum mesin yang sama.
Kontrak tersebut adalah bagian dari Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) yang telah disepakati di Paris pada 10/2/2021 lalu.
Tidak sampai sehari setelah perjanjian dengan Prancis muncul juga pernyataan Kementerian Luar negeri AS dan Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan AS (DSCA) setuju menjual 36 unit pesawat t empur F-15 EX ke Indonesia senilai US$13,9 milliar (199 triliun), yang disebut F-15 ID.
Keputusan mendadak AS tidak berpengaruh pada perjanjian yang telah ditandangani dengan Perancis karena paket pembelian pesawat tempur AS itu telah dijadwalkan jauh hari meskipun kontraknya belum ditandangani.
Apabila AS dan Prancis merealisasikan paket sistem pertahanan udara tersebut maka TNI AU akan menambah 78 delapan unit jet tempur dari tahun 2022 hingga selesai beberapa tahun akan datang.
Keputusan itu serta merta menghentikan penantian panjang Rusia guna mengisi pertahanan TNI AU dengan armada jet tempur generasi 5 Sukhoi-35 (Su-35).
Sebuah situs aviation, aviasionline.com, mengejek, menulis judul besar-besar "Indonesia Definitively Close The Dor on Su-35 Wants Rafale and F-15 EX" mewakili sejumlah media luar negeri tentang buruknya mimpi panjang Rusia menanti keputusan Indonesia.
Mengapa akhirnya Rafale dan F-15 EX yang dipilih RI di saat negara tetangga lebih melirik pada F-35 jet tempur generasi 5 yang sangat mahal namun sangat disegani dunia, tentu ada lika-liku tarik menarik kepentingan dan alasan yang sangat panjang.
Satu diantara sejumlah alasan adalah paling bermuatan politis, yaitu guna mengatasi arogansi China di Laut Cina Selatan (LCS) bahkan yang mengintai kepulauan Natuna utara, alasan klasik yang selalu digunakan barat dalam usaha mengatasi China.
Tapi apakah semudah itu mengatasi arsenal pesawat tempur China (The PLA Air Force) di LCS atau nyaris dekat ke ZEE Indonesia di Natuna Utara?
China mempunyai ruang udara sangat luas,seluruh pesawat tempur PLAAF bertanggung jawab mengawalnya termasuk ruang udara China di LCS, namun Stealth Fighter Chengdu J-20 "Mighty Dragon" dan pembom kelas berat "Beijing Hammer" H-6J (disamping H-6G, H-6K, H-6M, H-6N) lebih bertanggung jawab di kawasan selat Taiwan dan LCS . Sumber : RFA.
Hingga kini China memiliki tidak kurang 60 unit J-20 dan lusinan pembom strategis H-6J . Jumlahnya masih kalah sedikit dengan "duet maut" F-15 ID dan Rafale jika digabung menjadi 78 unit (menunggu Rafale sampai komplit hingga 2024 dan F-15 EX 2027).
Jika terjadi pergesekan di udara di atas Natuna Utara antara pesawat tempur generasi-5 China J-20 dengan genrasi 4 F-15 AX atau generasi 4,5 Rafale, mampukah duet maut (78 unit) hadapi 60 pesawat tempur generasai ke-5 PLAAF?
Semua itu tentunya tergantung banyak faktor terutama faktor pendukung antara lain pembom, kapal selam, kapal perang, peluru kendali. komunikasi dan logistik serta sistim radar dan termasuk kesiapan pesawat tempur dan pilot itu sendiri.
Di luar faktor-faktor pendukung tersebut mari kita kulik-kulik sedikit perbandingan (comparison) beberapa hal utama antara F-15 Eagle, J-20 China dan Rafale sebut saja tipe B (Beplace, pesawat tempur sekaligus pesawat latih dengan dua kursi).
Jika terjadi dogfight antar J-20 dengan Rafale atau dengan F-15, siapa lebih unggul (diatas kertas) seperti dalam perbandingan sebagai berikut :
Namun jangan lupa, dengan kecepatan 2,5 mach F-15 lebih sulit dicegat misil lawan ketimbang J-20 dan Rafale meskipun kemampuan manuver Rafale terbukti lebih moncer dibanding J-20 dan F-15.
Rafale juga dipersenjatai canon 30 mm lebih mumpuni ketimbang J-20 : 23 mm dan F-15 : 20 mm
Sistem misil utama udara ke udara yang dibawa oleh Rafale juga lebih mumpuni, misilnya mampu mencapai target sejauh 50 km sementara J-20 hanya separohnya saja.
Namun dalam hal konsumsi bahan bakar J-20 tergolong efisien. Dalam kondisi "anyar" mampu menembus 0,76 km (tidak sampai 1 km) menghabiskan 1 liter bahan bakar. Sementara Rafale0,70 km dan lebih mengerikan lagi F-15 cuma mampu melesat 0,45 km per liter dalam kondisi mesin anyer.
Bobot yang lebih ringan dimiliki J-20 memungkinkan performa mesin bekerja efisien sehingga konsumsi bahan bakar pun relatif lebih efisien.
Akibatnya, dalam radius atau jarak yang sama, ketergantungan J-20 pada pesawat tanker udara lebih kecil dibanding Rafale dan F-15.
Paling menarik di balik semua adalah soal harga. J-20 dipastikan lebih murah dibandingkan Rafale dan F-15.
Pada akhirnya semua kelebihan dan kekurangan di atas tertuju pada probabilitas dogfight ke tiga jenis pesawat tersebut. Berdasarkan tabel di atas dogfight rating dimenangkan oleh Rafale dengan tingkat rating 76% diikuti F-15 EX : 64% dan J-20 : 58%.
Artinya, tidak keliru TNI AU memilih Rafale meskipun ada beberapa sisi disebutkan di atas terutama dalam hal konsumsi bahan bakar yang akan semakin menguras kantong anggaran Kemenhan seiring dengan bertambahnya usia Rafale dan F-15.
Menurut informasi 6 unit Rafale telah bersiap "melanglang" di angkasa Indonesia sementara sisanya akan dikirim bertahap hingga 2024.
Sementara itu tipe F-15 EX (kontraknya belum dibuat) adalah F-15 EX Eagle II, yang akan dikirim mulai 2027. Sumber : aviaciononline.
Hadirnya alutsista udara berkekuatan 2-3 skuadron pesawat tempur lebih segar dan mumpuni kini bukan lagi sekadar impian meskipun harus menunggu komplit hingga beberapa tahun ke depan.
Namun di balik semua itu yang terpenting diingat adalah :
- Pengawal teritorial RI mesti lebih berani dan tegas mengawal teritorial dari Sabang sampai Merauke, dari Mentawai hingga Miangas dan Natuna utara
- Memastikan perawatann pesawat-pesawat baru tersebut sesuai standard meskipun paket kerjasama juga meliputi kerjasama perawatan dan peralatannya
- Anggaran operasional untuk bahan bahan bakar, suku cadang dan perawatan akan merogoh kocek Kemenhan lebih dalam
- Tidak terjadi korupsi di balik perjanjian kontrak, pengadaan dan kerjasama pemeliharaan dan suku cadang
Meskipun belanja perahanan Indonesia pada Prancis belum sebanding rencana pengadaan armada kapal selam untuk Australia namun Prancis boleh tersenyum setidaknya dapat mengubur kekecewaan pada Australia karena berpaling pada AS dan Inggris dalam program AUKUS yang lagi-lagi mengeksplotasi ancaman China di kawasan Pasifik selatan.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H