Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Plesetan "Tempat Jin Buang Anak" Hal Biasa, Mengapa Jadi Luar Biasa?

26 Januari 2022   23:25 Diperbarui: 27 Januari 2022   15:22 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutan "Tempat Jin Buang Anak" adalah sebuah plesetan humor, mengekspresikan sebuah tempat yang sepi, seraam dan tidak menarik mungkin juga kurang bernilai ekonomis.

Plesetan humor "Tempat Jin buang Anak" ada di mana-mana di Indonesia. Pada umumnya orang tahu apa maksud di balik istilah atau cerita humor tersebut.

Jika plesetan itu dirangkai dalam cerita humor tidak kasar, mempunyai maksud tertentu dan menceritakan kondisi sedanghangat terjadi itu disebut "cerita Anekdot"

Namun mengapa sebuah plesetan atau anekdot bisa membangkitkan rasa sensitif atau tidak senang orang mendengarkannya, karena ternyata itu disampaikan dengan kasar dan menyakiti.

Kompas.com edisi 10/9/2020 menulis "Umumnya, anekdot berhubungan dengan pokok bahasan yang sedang dibahas sekelompok orang. Anekdot digunakan untuk menyampaikan kritik, tetapi bukan dengan cara yang kasar dan menyakiti. Karena anekdot adalah cerita singkat, menarik, lucu, dan mengesankan."

Ketika seseorang bercerita tentang Mukidi, Wakijan, Sarmuli dan lain-lain orang bersiap-siap tersenyum atau ketawa karena disuguhi cerita humor. Dari nama tokohnya orang sudah tahu cerita olol-olok itu berasal dari mana meskipun pencerita tidak menyebutkannya.

Pada akhirnya orang tertawa karena karena plesetan atau cerita anekdot itu disampaikan dengan cara yang halus atau tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan orang lain. 

Saya teringat sebuah cerita nyata. Seorang teman saya memberi penilaian negatif ketika saya bersamanya bertemu seseorang asal Marelan mencari sebuah rumah di pedalaman Marelan pada tahun 2000.

Rekan saya itu menetap di Gaperta, lumayan jauh dari Marelan. Secara teoritis dia tidak tahu persis masa depan kawasan pedalaman Marelan yang ketika itu masih hijau berkabut dipagi hari. Dia hanya tahu dari kata orang lain bahwa daerah itu sunyi, sepi, kurang bernilai ekonomis.

"Jangan beli di sini, tempat Jin buang anak. Dua puluh tahun lagi pun belum tentu maju dan rendah nilai investasinya." Demikian ucapan itu disampaikan teman saya di hadapan orang Marelan tersebut. 

Mereka tidak tersinggung mendengar kawasannya disebut "tempat jin buang anak," karena sudah terbiasa dengan sebutan itu dari orang lain.

Mereka juga mendengarkan lontaran kalimat itu dalam sentuhan yang halus atau mungkin saja mereka menduga orang yang memberi penilaian justru tidak paham.

Mereka tidak tersinggung dan lebih semangat memberi beberapa alternatif lain yang lebih dekat ke jalan raya.

Namun jika rekan saya itu menambah cerita dengan bumbu-bumbu kasar misalnya "Di sini hanya banyak hantu, gendoruwo, kuntilanak dan hanya monyet-monyet yang mau ke sini" mungkin orang-orang yang  mendengar saat itu bisa sakit hati, setidaknya akan meninggalkan kami daripada ribut.

Jadi sebuah anekdot atau plesetan atau sebutan humor bisa menyakitkan jika disampaikan secara kasar (dalam tekanan suara maupun kasar dalam isi ucapan atau ke duan-duanya). Kesan yang timbul dari sana merendahkan orang lain.

Terlalu mudah tersulut emosikah kita mendengar kawasan kita hanya untuk tempat jin, kuntilanak, gendoruwo dan monyet-monyet?

Kalau dilontarkan dengan tambahan bumbu keras lainnya (misal kampret, monyet dan lainnya) apalagi disampaikan oleh tokoh kelompok tertentu dan sejenisnya siapapun otomatis mudah tersinggung.

Apakah orang yang tersinggung artinya cita rasa atau selera humornya rendah? Selera humor yang tinggi pun musti dikemas oleh dalam seni humor yang tinggi juga. 

Salah satu parameter humor tinggi adalah menjaga etika halus. Jika sepenyampai humor menyampaikan secara kasar artinya dia tidak perduli orang lain akan tersinggung. 

Jika plesetan "tempat jin buang anak" berdiri sendiri dan tidak terhubung dengan kalimat lain maka plesetan itu adalah sebuah humor biasa, tapi  jika dirangkai dalam cerita atau teks kasar yang panjang maka itu menjadi luar biasa, tepatnya "tidak berlogika."

Kalau orang lain sudah tersinggung tentu saja secepatnya meminta maaf secara elegan. Tanpa menangis juga tanpa memperlihatkan gestur membela diri apalagi sambil tersenyum menahan tawa merasa diri benar.

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun