Meski kalah dalam kelas dan kapasitas tapi RU III Plaju berhasil memberi contoh apa dan bagaimana mereka mengelola produksi kecil dengan cara yang cerdas. Salah satu sumurnya telah berusia 100 tahun dan masih berproduksi.
Ke sanalah para petinggi Pertamina berguru. Apa sebab "sang senior" Plaju kilang RU pertama milik Pertamina lebih aman padahal dia berlokasi di tengah-tengah para mafioso cap lokal bergelimang lumpur dan keringat dari sumur-sumur ilegal setiap hari.
Ada asumsi "Semakin tinggi pohon semakin kuat angin meniupnya." Semakin besar kapasitas RU semakin besar pula risikonya. Namun asumsi itu kurang relevan untuk RU IV Cilacap. Yang lebih muncul malah asumsi keraguan, yakni sejumlah pertanyaan besar.
Tanda tanya itu bukan sekadar menyandang urutan nomor IV (katanya angka dinilai sial) tapi tentang keraguan mutu koordinasi di RU IV sehingga langganan bencana.
Beberapa media berita menyindir bencana tersebut sebagai "kado getir" HUT ke 4 Kilang Pertamina Internasional.
Ada juga yang mengaitkan dengan mengalihkan perhatian pada kepemimpinan Nicke Widyawati yang baru 3 tahun bercokol tak tergoyahkan, atau Ahok baru beberapa saat saja "bernafas" lega di sana.
Tapi siapapun yang berada di sana bencana seperti itu bisa terjadi jika orang-orang di bawahnya terutama unit pelaksana (RU) mutu koordinasinya rendah atau lebih parah lagi ternyata dikoordinasi oleh mafia yang mencoba mengambil keuntungan di balik bencana.
Senior pun mungkin bukan paling sakti, tapi setidaknya telah memperlihatkan hingga saat ini telah bekerja sangat efektif dan efisien menghadapi bencana.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H