Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Negeri Kita Rawan Jadi Obyek Kebodohan oleh Negara Lain?

11 November 2021   13:26 Diperbarui: 11 November 2021   15:32 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang bodoh. Sumber: 5cog.com

Merasa bodoh untuk hal-hal tertentu sah-sah saja, misal merasa belum tahu atau merasa dangkal tentang sebuah ilmu atau pengetahuan. Namun menjadi obyek kebodohan hingga dieksploitir oleh orang-orang yang memanfaatkannya perlu dihindari dengan cara berusaha mengerti.

Fakta yang paling banyak terjadi adalah orang bodoh menjadi obyek apapun orang pintar. Bisa saja dalam bentuk eksploitasi banyak bidang, misalnya jadi obyek tipuan, fitnah, sasaran, propaganda dan sebagainya.

Kesan "bodoh" bisa tergantung pada beberapa kondisi seperti tidak berdaya, malas berurusan, pasrah, nrimo, tahu tapi tidak perduli bahkan sampai tidak tahu sama sekali, sekali lagi, faktanya banyak orang kesannya bodoh memang jadi eksploitasi orang pintar.

Dalam kawasan yang lebih luas orang-orang bodoh dalam sebuah negara pun bisa jadi obyek eksploitasi orang-orang pintar dari negara lain.

Orang-orang pintar menciptakan sesuatu yang baru, sedang dicari atau dibutuhkan atau sedang trend dicari oleh manusia di mana pun berada.

Sebut saja sebuah restoran di Belanda menjual sebuah burger yang diklaim sebagai burger termahal di dunia. Anda musti merogoh kocek sebesar USD 5.894 (Rp 86 juta). Apakah itu bodoh? Secara harfiah tampak tidak, tapi dalam hati pasti berkata sejujurnya.

Dalam bidang lain, negara-negara produsen perlatan tempur berteknologi tinggi menawarkan aneka alat dan perlengkapan tempur.

Sebut saja, teropong militer jarak jauh multi fungsi Laser Rangefinder Night Vision dijual di sebuah Market Place seharga USD 35.000 (lebih Rp 400 juta). Suatu saat negara pembeli akan sadar betapa mahalnya harga terpong dengan teknologi seperti itu.

Ketika pandemi Corona baru saja menyerang tanpa ampun ke seluruh benua, banyak negara-negara berlomba-lomba membeli Ventilator.

Mernurut berbagai sumber informasi harga ventilator ketika itu nyaris mencapai 1 miliar. Pada April 2020, sebuah sumber Kabar.24 menulis nilai sebuah ventilator impor pada April 2020 seharga Rp 700 juta.

Sumber lain, pada 20 Juli 2020 Medcom.id menilai harga ventilator impor mencapai Rp 900 juta dan membandingkan dengan harga ventilator buatan UGM hanya 1/3 nya.

Faktanya unit ventilator yang komplit dapat diproduksi oleh PT. PINDAD dengan harga 15 juta-25 juta rupiah. Sementara ventilator karya Anak Bangsa, ITB dan UGM juga menawarkan harga bersaing, jauh di bawah harga ventilator impor.

Dahulu tarif Rapid Test Antigen di awal pandemi dipatok Rp 350.000 hingga mencapai Rp 499,000. Sumber Kompas.com edisi 17/12/2020. 

Seiring meningkatnya alam sadar orang-orang pintar di tanah air akhirnya tahu harga di negeri lain justru sangat murah. Akhirnya pada September 2021 pemerintah menetapkan tarif Rapid Tes Antigen di Jawa-Bali Rp 99.000 dan luar Jawa- Bali Rp 101.000, hampir setahun meraup keuntungan sangat besar.

Siapa yang terkesan bodoh? Importir yang secara sadar atau tidak telah dibodohin oleh eksportir ataukah importir yang secara sadar atau tidak sengaja membodohi konsumen?

Kini terkuak kembali harga test (Polymerase Chain Reaction) PCR yang menghebohkan itu. 

Pada awal pandemi tarif test PCR mencapai 2,5 juta, berlaku hanya 2x24 jam saja.

Jumlah orang melakukan tes PCR hingga Desember 2020 saja mencapai 4,7 juta orang (sumber : Republika 28 Desember 2020). Mereka yang melakukan tes ketika itu masih berlaku harga setinggi langit.

Mulai menyadari terlalu mahal ikut turun beberapa kali. Lalu pada Agustus 2021 pemerintah menurunkan harga tes PCR menjadi 495 ribu rupiah (Jawa-Bali) dan 525 ribu rupiah (luar Jawa-Bali).

Seiring terbukanya wawasan orang-orang pintar di tanah air dan mengetahui bahan utama dalam tes PCR (reagen) sangat murah (kisaran Rp 80.000 sekali usap) pemerintah pun akhirnya menurunkan tarif PCR. Untuk Jawa-Bali Rp 275.000 dan luar Jawa-Bali Rp 300.000.

Satuan  tugas (Satgas) Covid-19 mengatakan hingga akhir September 2021 saja telah ada 27,7 orang telah jalani tes PCR. Sumber Republika edisi 10 Oktober 2021.

Lima besar "pemain" jasa tes PCR di tanah air telah sama-sama kita ketahui. Satu diantaranya adalah GSI Lab yang berada di bawah naungan PT.GSI.

Kini telah banyak muncul perusahaan-perusahaan baru meskipun di masa-masa akhir pandemi. Ibarat permainan sepak bola, mereka tetap berharap mendulang cuan di masa "injury time."

Setelah ini mungkin akan terungkap kesan bodoh kita atau pemerintah kita dalam membeli perangkat alat pelindung diri (APD) dan mungkin beberapa alat kesehatan (alkes) lainnya ketika kita sadar dan merasa mampu membuatnya meskipun mungkin sudah terlambat.

Seorang pengusaha di China bernama Li Xiting pada April 2020 saja memperoleh keuntungan sebesar 583 miliar dalam sehari (just only one day) dari perusahaan farmasinya penyedia alkes yakni Shenzhen Mindray Bio-Medical Electronics.

"Kami menerima pesanan peralatan medis kami dari sekitar 100 negara untuk melawan epidemi ini," ujar pihak Mindray seperti dikutip dari sumber ini.

Masih menurut sumber di atas, total kekayaan Li Xiting pada April 2020 mencapai US$ 13,5 miliar (Rp 209 triliun) atau rata-rata US$ 37,5 juta (Rp 582 miliar) tiap 24 jam selama setahun.

Li Xiting dan para Taipan penyedia alkes di seluruh dunia pasti tidak bermksud membodohi konsumen atau negara lain dan warganya. Akan tetapi kesan bodoh itu muncul karena kita tidak tahu bagaimana cara membuatnya, tidak tahu harganya.

Kesan bodoh bisa juga terjadi karena negara penerima dalam kondisi panik, harga berapapun dari produsen oke, "no problem". Ironisnya, kepanikan itu berlatar belakang "cuan," bagaimana bisa memperoleh keuntungan besar melalui mekanisme "cincai-cincai" dibalik kesan bodoh berbulu panik.

Dan pada akhirnya kita terperangah, ternyata betapa bodohnya kita akibat tidak tahu cara bagaimana bisa mengerti.

Ke depan pemerintah jangan mudah panik. Ahli-ahli kita sangat banyak. Dari awal mereka diarahkan agar mengerti. Salurkan mereka agar kreatif, inovatif dan kompetitif menghasilkan mega karya dan maha karya untuk publik yang berkualitas, dengan biaya dan harga jual yang kesannya tidak membodohi.

abanggeutanyo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun