Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

TWK Bukan Modus Pemecatan ala KPK, Bisa Terjadi pada Instansi Lain

30 Mei 2021   03:44 Diperbarui: 30 Mei 2021   23:06 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: sumber memekocak.my.id

Apa yang lebih penting di balik asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Pemecatan terhadap 51 pegawai KPK ataukah Pencegahan masuknya SDM terpapar radikalisme ke dalam tubuh KPK?

Dari total 1.351 pegawai KPK yang mengikuti asesmen TWK, 1.274 orang lulus syarat minimal. Hanya 75 orang yang tidak memenuhi syarat. Dari jumlah tersebut akhirnya, 51 orang benar-benar TIDAK memenuhi syarat sehingga diberhentikan.

Secara porsentase, 51 orang diberhentikan dari 1.351 orang artinya 3,8% SDM di KPK yang tidak memenuhi persyaratan minimal agar layak bernaung di dalam sebuah institusi yang bernama "Komisi Pemberantasan Korupsi" atau KPK.

Secara prosentase angka 3,8% tidak terlalu signifikan sehingga perombakan di dalam tubuh organisasi dengan jumlah prosenstase tersebut sesungguhnya bukan sebuah kekhawatiran terjadinya revolusi fundamental terhadap AD atau ART instansi KPK. 

Mungkin saja istilah AD/ART terlalu umum dan luas, jadi tepatnya sebut saja tidak sesuai dengan Visi dan Misi KPK.

Dengan kata lain masih ada 96% SDM yang selaras dengan Visi dan Misi KPK yang juga masih terlalu panjang untuk diurai tetapi secara singkat Visi KPK adalah "Bersama Masyarakat Menurunkan TIingkat Korupsi dan Mewujudkan Indonesia Maju." Ada 4 butir rincian Visi KPK yang dapat dilihat di profil singkat KPK.

Di dalam "Misi" KPK ada 6 poin tugas utama, yakni pencegahan, monitoring, supervisi, koordinasi, penyelidikan-penyidikan-penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim berkekuatan hukum.

Jika ada SDM yang diberhentikan baik secara parsial maupun massal seharusnya karena SDM tersebut tidak sesuai dengan visi dan misi KPK atau setidaknya tidak sesuai dengan filosofi dasar yaitu Keterbukaan, Kepastian Hukum, Akuntabilitas, Kepentingan Umum dan Proporsionalitas.

Di luar itu sebab lain pemecatan terhadap 51 pegawai KPK mungkin saja karena :

  • Pekerja mulai menerapkan paham-paham radikalisme
  • Membawa budaya yang bertolak belakang dengan Visi, Misi dan Filosofi dasar KPK
  • Terindikasi dalam jaringan bersekongkol dengan koruptor
  • Menciptakan zona nyaman termasuk lalai, mangkir dan indisplin
  • Lemahnya koordinasi pada bagian tertentu dengan bagian lain

Jika SDM dipecat karena sebagian atau seluruh kemungkinan di atas, wajar KPK memberhentikan tipe pekerja seperti itu walaupun seperti kurang kontrol dengan menambah penjelasan verbal "sudah tidak dapat dibina lagi."

Jika jernih berpikir, lebel "Sudah tidak dapat dibina lagi" mempunyai makna sangat luas karena secara eksplisit memperlihatkan telah ada beberapa tindakan persuasif sebelumnya agar para karyawan dimaksud fokus pada visi, misi dan filosofi dasar KPK. 

Mungkin saja di antara tindakan persuasif itu berbalut ancaman, jika melakukan pelanggaran atau jika tidak ada perubahan positif akan diberi sanksi hingga pemecatan.

Dengan demikian sepantasnya kita tidak melihat pemberhentian 51 orang itu secara negatif melulu, tidak manusiawi atau anti demokrasi, sampai ada yang menganggap nasib KPK telah tamat riwayat karena menjadi corong kepentingan politik bahkan ada yang menganggap sebagai kemenangan koruptor.

Jika pemberhentian itu terjadi karena alasan tidak transparan atau berbalut unsur subyektif setuju dan sepakat KPK atau pimpinan KPK dianggap telah kehilangan nilai filosofi KPK. Untuk asasemen seperti itu bisa disebut "modus."

Akhirnya kita kembali pada pertanyaan di awal artikel ini, manakah yang lebih penting pemecatannya ataukah pencegahannya (hadirnya pekerja bermasalah pada KPK, meskipun di antaranya terdapat para petinggi KPK juga).

Di akhir artikel ini penulis ingin menyampaikan tiga hal sebagai saran, yaitu :

Pertama, pernyataan "tidak dapat dibina" tidak sepantasnya disematkan pada mereka karena setidaknya mereka telah mencurahkan totalitas selama bekerjasama menangkap para koruptor sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.

Bisa tebak reaksi koruptor setelah melihat pekerja KPK yang dahulu gagah perkasa tanpa ekspresi dalam OTT terhadap mereka (korptor) kini terkulai lemas, tertunduk dan seperti layu diberhentikan karena tidak dapat dibina.

Kedua,  asesmen TWK seperti di KPK ini adalah "pola" perlu diterapkan di seluruh intansi pemerintah yang katanya  menjadi syarat guna menghadrikan Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk juga pegawai perusahaan negara yang Pancasilais, anti radikalisme, berintegritas dan netralistas dan lain-lain.

Jika pemerintah tak ingin instansinya disusupi pekerja yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana terlihat pada 51 pegawai KPK yang diberhentikan maka asesmen seperti itu perlu dilakukan pada instansi atau BUMN lain. tanpa bermaksud mendahului, jangan kaget atau sebut alasan lain bila hasilnya mungkin lebih dahsyat.

Ketiga, proses asesmen TWK ini adalah pola. Jadi BUKAN modus menyingkirkan karyawan KPK dengan cara mengada-ada sesuai alasan dan penjelasan disebutkan di atas.

Sejak dibentuk 2002 sampai kini "PR" dan tugas KPK masih banyak tertunda, jangan gagal fokus akibat polemik ini. Satu diantara yang paling perlu diperhatikan adalah dugaan korupsi dana Covid-19.

Jadi marilah kita melihat peristiwa ini (pemecatan) sebagai proses transparansi organisasi di KPK sambil melihat ke depan bagaimana lembaga ini berjalan, apakah telah sesuai harapan atau justru anti-klimaks seperti contoh kecurigaan disebutkan di atas.

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun