Sebagian besar rezim pemerintahan sejumlah negara memilih langkah konstitusional melalui referendum maupun amandemen guna mengubah aturan atau peraturan tentang masa jabatan dan periode kepala negara atau pemerintahan.
Mekanisme ini kesannya paling demokratis meskipun proses dibalik itu sangat sarat bermuatan politik dan mungkin saja dipolitisir sesuai dengan political will yang "dikemas" berbagai elemen penguasa.
Hampir 2 dekade terakhir sangat banyak negara-negara di dunia ini memperpanjang masa jabatan kepala negara atau pemerintahan dalam bentuk memperpanjang masa jabatan atau memperpanjang masa periode bahkan keduanya (masa jabatan dan periode).
Contohnya Burundi. Sebelumnya, masa jabatan Presiden maksimal 2 periode masing-masing 5 tahun, menjadi 7 tahun tetap 2 periode sejak 2018.
Republik Congo. Sebelumnya masa periode jabatan Presiden 2 periode masing-masing 5 tahun, menjadi 3 periode masing-masing 5 tahun sejak 2015
China. sebelumnya jabatan Presiden hanya 2 periode saja masing-masing 5 tahun sejak 1982 menjadi tidak berbatas periode (jika terpilih kembali) berlaku mulai 2018
Mesir juga mengubah masa jabatan Presiden dari 2 periode masing-masing 4 tahun menjadi 3 periode setiap 6 tahun sejak 2019.
Reformasi Konstitusi jabatan kepala negara atau pemerintahan
Berikut ini adalah daftar negara yang telah mengubah konsitusi tentang jabatan kepala negara (jika mereka terpilih kembali), sebagai berikut :
- Bolivia mengubah masa jabatan Presiden dan Wapres dari 2 periode masing-masing 5 tahun menjadi tak terbatas periode sejak 2017
- Brazil, dari 1 periode selama 4 tahun menjadi 2 periode masing-masing 4 tahun sejak 1997
- Venezuela, dari 2 periode masing-masing 6 tahun menjadi tidak berbatas waktu masing-masing 6 tahun sejak 2009
- Belarus, dari 2 periode masing-masing 5 tahun menjadi tidak berbatas waktu masing-masing 5 tahun sejak 2004
- Rusia, dari 2 periode masing-masing 6 tahun menjadi tidak berbatas waktu masing-masing 6 tahun sejak 2020
- Tajikistan, dari 1 periode 5 tahun sejak 2006 menjadi tidak berbatas waktu masing-masing 6 tahun sejak 2016
- Pakistan, 2 periode masing-masing 5 tahun menjadi tak berbatas waktu masing-masing 5 tahun sejak 2011
Tetapi hampir kebalikan dengan sejumlah negara di atas yang menambah periode atau masa jabatan kepala negara atau pemerintahan, negara berikut ini justru memperpendek periode dan masa jabatan tersebut, yaitu :
- Cuba malah sebaliknya, dari tidak berbatas periode menjadi 2 periode masing-masing 5 tahun sejak 2013
- Senegal malah sebaliknya, 2 periode masing-masing 7 tahun menjadi 2 periode masing-masing 5 tahun sejak 2016
- Colombia, juga sebaliknya, dari 2 periode masing-masing 4 tahun menjadi 1 periode saja untuk 4 tahun
- Angola juga demikian, dari tidak ada batas periode masing-masing 5 tahun menjadi 2 periode saja masing-masing 5 tahun sejak 2010
Sedikit berbeda dengan di atas, Republik Turki melakukan reformasi kekuasaan dari sistem parlementer (sejak 1924) menjadi presidential eksekutif, menambah kekuasaan Presiden dengan menghapus jabatan Perdana Menteri sejak 2018.
Sementara itu Kerajaan Maroko, melakukan referumdum, megubah Maroko menjadi monarki konstitusioanl pada 2011 sekaligus mengubah masa jabatan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan tidak berbatas waktu periode.
Ada tindakan sistematis, Terstruktur dan Masif (TSM) dilakukan oleh para pengambil kebijakan dan kekuasaan agar mampu menggiring opini dan kebutuhan tentang perlunya amandemen konstitusi atau reformasi konstitusi tentang masa jabatan dan periode kepala negara atau kepala pemerintahan bahkan memeberi kekuasaan lebih besar pada Presiden melalui terbitnya dekrit Presiden itu sendiri.
Sebuah contoh adalah "kisah" Alexander Grigoryevich Lukashenko, diktator Belarus yang berkuasa 26 tahun dari 1994 hingga 23 September 2020. Setelah 10 tahun berkuasa (sejak 1994) mencoba mengkondisikan konstitusi agar masa jabatan Presiden tidak berbatas periode sehingga ia bisa menduduki jabatan tersebut 5 periode.
Apa yang dilakukan Lukashenko
Anggota parlemen pada umumnya pro pemerintah. Dari 110 anggota parlemen dari berbagai partai politik 77% diantaranya loyal pada apapun tujuan pemerintah.
Pemerintah memporak porandakan kedudukan partai oposisi dalam berbagai bidang. Tidak ada satupun pimpinan oposisi yang berseberang dengan pemerintah bisa tidur nyenyak. Beberapa diatara mereka berkali-kali dipenjarakan.
Andrei Shannikov salah satu pimpinan oposisi (independent non partai) dihukum 5 tahun pada 2011 akibat melakukan protes atas kecurangan pilpres yang dilakukan oleh pemerintah dan penguasa. Shannikov kini kabur ke Inggris mencari suaka politik di sana.
Bagaimana Lukashenko melakukan semacam "pengkondisian" dari bawah hingga ke atas hingga memberikannya tambahan kekuasaan dan priode yang berulang-ulang mirip seperti apa yang terjadi pada zaman orde baru ketika Presiden Soeharto berkuasa.
Tetapi yang melakukan pengkondisian semacam itu bukan Soeharto saja, banyak pemimpin negara lain (rezim petahana) melakukan strategi mirip seperti itu, sebut saja satu diantaranya adalah Saddam Husen, mantan Presiden irak yang sangat dibenci AS.
Selain itu Paul Biya (mantan Presiden Kamerun berkuasa 41 tahun) dan Moamar Khadafi (berkuasa 41 tahun) dan masih banyak lagi lainnya seperti Robert Mugabe (mantan Presiden Zimbwabe berkuasa 36 tahun) dan Nursultan Nazarbayef (Presiden Kazakhstan berkuasa 33 tahun) adalah contoh-contoh pemimpin negara yang "berhasil" melakukan pengkondisian konstitusional sehingga memungkinkan menjabat lebih lama dan mungkin saja untuk selama-lamanya.
Banyak strategi diterapkan rezim petahana guna memuluskan langkah memperpanjang dan lama berkuasa, selain pengkondisian terhadap konstitusi cara lainnya adalah membungkam pimpinan oposisi dan memporakporandakan partai - partai yang berseberangan dengan tujuan ingin diraih rezim penguasa.
Meskipun mengubah masa dan periode jabatan kepala negara BUKAN sesuatu yang dilarang (asalkan konstitusional) tetapi negeria kita Indonesia penganut sistem demokrasi Pancasila tidak akan mengikuti cara-cara seperti itu, apalagi dengan trik-trik licik sebagaimana pernah diterapkan Lukashenko dan sejumlah penguasa penganut totaliterisme (Totalitarianism) di atas.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H