Mengacu pada sejarah masa lalunya yang panjang di jaman kolonial, PT. Jasa Raharja (JR) telah berusia 161 tahun hingga saat ini, akan tetapi penunjukannya secara resmi sebagai salah satu BUMN dengan nama baru "Jasa Raharja" baru terjadi pada 1 Januari 1965 meskipun Jasa Raharja mengklaim pembentukannya secara resmi pada 1 Januari 1964.
Sempat pasang surut beberapa kali sejak 1970 akhirnya pada 1994 secara spesifik JR mendapat tugas mengelola dan melaksanakan undang-undang (UU) nomor 33 tahun 1964 (tentang pertanggungan kecelakaan penumpang) dan UU No.34/1964 (tentang pertanggungan kecelakaan lalu lintas jalan).
Satu-satunya anak perusahaannya adalah PT. Jasa Raharja Putera yang juga bergerak di bidang asuransi. Anak perusahaan ini dikenal sebagai "JP-Insurance" yang dimodali dari Yayasan Dana Pensiun Jasa Raharja. JPI "lahir" pada 27 Nopember 1993 beberapa saat setelah JR mendapat mandat melaksanakan UU no.33 dan 34/1964 secara totalitas.
Kedua UU tersebut pada intinya adalah asuransi kecelakaan "lain daripada yang lain" karena yang ditanggung kecelakaan adalah pihak ke tiga yaitu obyek yang kita tabrak (jika terjadi tabrakan), termasuk kita JIKA menjadi korban tabrak (dilakukan orang lain) hingga cacat atau meninggal bisa ditanggung oleh negara.
Asuransi ini sifatnya WAJIB pada siapapun yang memperpanjang pajak kendaraannya setiap tahun di kantor Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) dalam perpanjangan pajak Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) kita.
Salah satu item biayanya adalah iuran SWDKLLJ atau Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang besarannya telah ditetapkan (bervariasi) oleh peraturan Menteri Keuangan Nomor 36 Tahun 2008.
Kemudian JR mengelola dana tersebut berdasarkan Peraturan Menkeu nomor 15 dan nomor 16 tahun 2017 termasuk untuk mengeluarkan pembayaran bagi korban cacat tetap dan meninggal sesuai aturan.
Dengan limpahan dana sangat dahsyat yang berhasil dihimpun dari pembayar pajak setiap hari, minggu dan bulan dari perolehan SWDKLLJ tak diragukan lagi JR berlimpah ruah dananya dan sejatinya pasti memberi kontribusi hebat untuk pemasukan negara.
Mengacu pada data yang diambil dari sumber Jasa Raharja dalam Laporan 2018 Sustainabiity Report (SR) di sini (jika masih dapat diakses) dapat dilihat beberapa pencapaian performa 2018, sebagai berikut :
Pertama, benarkah Asset BUMN Jasa Raharja pada 2018 sebesar 15,2 triliun padahal Direktur Utama Jiwasraya sebelumnya Hendrisman Rahim pada 2017 lalu mengatakan JR memiliki aset sebesar Rp 45,07 triliun. "Jumlah itu meningkat 16,6% dari tahun 2016 yang sebanyak Rp 38,6 triliun," ujar Hendrisman saat itu.
Kedua, benar Jasa Raharja telah memberi kontribusi pada 2018 untuk negara sebesar 551,8 miliar rupiah?
Jika dua pertanyaan di atas dikorelasikan dengan Laporan Keuangan dan Laba Rugi 2019 yang terbitkan pada Maret 2020 lalu kita dapat temukan jawaban yang semakin "melebar" seperti terlihat informasi disebutkan di atas ternyata sebagai berikut :
Pada laporan 2018 (SR) disebutkan total Asset pada 2018 mencapai 15,2 triliun faktanya dalam laporan keuangan 2019 memperlihatkan juga posisi 2018 ternyata total Assetnya 13,9 triliun rupiah. Malah jika mengacu pada pernyataan Dirut sebelumnya total asset JR mencapai 45 triliun, kemana perginya 30 triliun lagi ?
Ada yang aneh juga dengan beban biaya beban pegawai dan pengurus 2019 mencapai 953 miliar. Mengacu pada laporan berkelanjutan 2018 yang diterbitkan pada Mai 2019 setebal 86 halaman ditandatangani Budi Raharjo Slamet (Direktur Utama) mencantumkan jumlah pegawai (2018) sebanyak 2.063 orang.
Satu hal lagi, kecepatan proses klaim atau realisasi penyelesaian santunan menurut laporan 2018 (SR) dalam jangka waktu 38 jam membaik dari 2017 memerlukan waktu 46 jam. Apakah faktanya demikian?
Faktanya seseorang dalam kolom "surat pembaca"menjerit ternyata urusan claim tidak semudah dalam teori. Pihak Kepolisian mengatakan surat dari Polisi tidak semudah itu terbitnya. Musti ikut sidang dulu sebagaimana titipan Jasa Raharja. Sumber : Detik.com.
Mungkin itu dulu, sekarang JR telah membuka jalur klaim online tetapi setelah ditelusuri mengharuskan pemenuhan syarat-syarat ketat yang sulit terkait dengan laporan pihak Kepolisian dengan jangka waktu beberapa bulan saja masa berlakunya.
Seorang Kompasianer menjelaskan bahwa Sustainability Report (SR) atau laporan berkelanjutan adalah laporan keberlanjutan yang bersifat nonfinansial yang dapat dipakai sebagai acuan oleh perusahaan untuk melihat pelaporan dari dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan.
Berdasarkan itu, SR yang disajikan dan dibuatJR pada Mai 2019 itu jelas bertolak belakang dengan filosofi SR (4P) itu sendiri.
Mungkin ini adalah salah satu potret "budaya" mainstream BUMN yang hampir merata culture-nya khususnya dalam penyajian data dan laporannya.
Kepiawaian pejabat BUMN bermain-main dengan angka dalam penyajian laporan bukan sesuatu yang baru. Berusaha terlihat efisien dan berkontribusi bagi negara "lihati" menyulap angka, mengubah fakta, assumsi berlatar belakang utopia lalu mengemasnya dengan istilah-istilah baru dan memasukkan kode biaya yang tidak baku (mungkin) agar tidak mudah "dioprek-oprek" oleh siapapun.
Meski tebakan, diyakini cash in flow terbesar JR pasti bersumber dari dana SWDKLLJ meskipun JR juga punya pemasukan dari hasil akumulasi investasinya. Walaupun ini tidak diharapkan terjadi tetapi jika suatu saat nanti JR tidak mendapat lagi hak kelola dana SWDKLLJ dapatkah Anda bayangkan seberapa tegarnya JR apalagi sang anak "JP-Insurance" semata wayangnya bertahan?
Ada baiknya JR melakukan penyelamatan dini pada masa "injury time." Ibarat permainan sepakbola, pertambahan waktu ini penting bagi JR. Melakukan langkah penyelamatan sejati, termasuk mereevaluasi nilai asset, pendapatan bersih, biaya bersih dan kontribusi untuk negara dan kebijakan yang lebih realistis dalam porsi beban SWDKLLJ seperti penghapusan denda SWDKLLJ baru-baru ini.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H