Menyimak demo solidaritas tuntuk George Floyd yang hampir terjadi seantero AS sejak 24 Mei 2020 lalu semakin hari semakin menegangkan tapj juga menarik, terutama melihat bagaimana cara petugas polisi AS menyikapi dengan cara berbeda antara sesama polisi tapi juga berbeda dibandng dengan negara lain.
Sebagaimana diketahui di Amerika Serikat tidak ada istilah Kepala Polisi Federal (Kapolri) yang ada hanyalah Kepala Police State (negara bagian) atau setingkat provinsi yang berarti setingkat "Kapolda" di Indonesia.
Police State membawahi beberapa wilayah lainnya, yaitu : Kepolisian Kota Besar atau Poltabes (Municipal Police) dan Kepolisian Wilayah (Sheriffs). Selai itu juga terdapat Kepolisian Tugas Khusus (Specialist Police). FBI bukan Polisi Federal tetapi sebuah lembaga khusus penyelidikan negara yang diketuai setingkat Direktur, maka disebut Direktur FBI yang bekerja dalam koordinasi Kementerian Kehakiman AS.
Terkait bagaimana aksi polisi AS dalam mengatasi demo solidaritas terhadap Floyd juga tak lepas dari bagaiman Trump menyikapi aksi demo menurut cara pandangan Trump yang agresif.
Donald Trump menuduuh aksi demo tersebut didompleng oleh Kelompok Anti Fasis (ANFAS), Sayap Kiri Radikal dan musuh penentang pemerintahannya. Selain itu berkali-kali Trump mengatakan tidak akan tolerir dan siap menurunkan lebih banyak tentara.
Langkah penyelamatan Secret Service membawa Trump dan keluarga utamanya ke bawah bungker Gedung Putih, The Presidential Emergency Operations Center (PEOC) dua hari lalu juga menarik perhatian pendemo. Media massa dan pendemo menyebut bunker tersebut sebagai "Trump Boy Bunker." Kini muncul tagar #BoyBunker menertawai Donald Trump.
Terlepas dari persaingan bursa Capres 2020, warga menilai langkah Joe Biden yang berusaha bertemu dengan pendemo justru lebih elegan. Padahal Trump beberapa kali memberi contoh agar kepala negara tersebut menemui pendemo saat terjadi kerusahan demo sengit di negara mereka masing-masing..
Menyikapi olok-olok tersebut Trump menilai akan menurunkan Secret Service lebih banyak lagi sekaligus anjing-anjing pemburu yang ganas. Faktanya memang anjing-anjing sejatinya untuk memburu penjahat kakap dan teroris itu telah diturunkan untuk membubarkan pendemo terutama yang mengancam ke arah dekat Gedung Putih.
Menyikapi reaksi Trump yang getol berbicara dan lincah memainkan gawainya di media sosial tapi bernada provokatif, dampaknya adalah reaksi warga AS semakin beringas tidak tertahankan. Akibatnya banyak pihak mulai gerah pada sikap Trump yang terlalu rajin bereaksi di medsos khususnya Tweeter menimbulkan kondisi lebih buruk daripada mendinginkan suasana.
Menyikapi aksi Trump lebih menimbulkan masalah, salah satu "Kapolda" AS yakni Art Acevedo, Houston Police Chief dengan gegap gempita berkata "Izinkan aku menyampaikan ini kepada Presiden AS, atas nama seluruh Polisi di sini (Houston) jika Anda tidak punya bukti yang membangun, jagalah mulut (ucapan) Anda," ujar Acevedo seperti dikutip di beberapa jam lalu di TBSNews.
Dalam perkembangan terkini beberapa polisi di sejumlah kota juga telah atau sedang memperlihatkan sikap mereka antara lain Polisi di kota Camden County, New Jersey. Kapoltabesnya Joseph Wysocski malah ikut larut berbaur dengan para demonstran,
Tampaknya langkah beberapa pejabat polisi di sejumlah lokasi disebut di atas dapat dikatakan berani. Jika itu terjadi di negeri lain tak perlu lama-lama menuggu reaksi Presiden, sang Kapolda atau Kapolres itu langsung viral karena dialihtugaskan.
Terlepas dari cara-cara seperti itu adalah sebuah strategi dalam memecah konsentrasi pendemo dan menjauhkan anarkis vandalisme tampaknya sikap diperlihatkan polisi-polisi disebutkan di atas adalah wujud pro warga akibat "lelah" melihat langkah Trump justru kontra produktif dengan upaya persuasif yang dilakukan Polisi.
Stretegi humanis dalam menghadapi aksi, demo liar dan kerusuhan pernah diperlihatkan oleh Polisi Indonesia dalam menangani kerusuhan di Jakarta, terakhir pada kerusuhan pasca KPU mengumumkan hasil Pemilu pada 21 - 22 Mei 2019 lalu.
Selain itu pada 2 Desember 2006 Polisi di Jakarta membentuk "tim Asmahulusna," guna meredam "aksi" peserta 212 di sekitar Monas tetapi BUKAN berarti polisi (saat itu) ikut atau terlibat pro pendemo tau membantu kerusuhan.
Beda dengan yang diperlihatkan oleh segelintir kepala polisi AS di sejumlah lokasi disebutkan di atas, sikap polisi AS berjalan, berbaur, seirama dan searah dengan demonstran. Di tempat lain sebagian polisi AS seakan hampir menutup mata tak kuasa lagi melihat beringasnya pendemo.
Secara umum reaksi Polisi dan petugas keamanan AS menghadapi pendemo di sejumlah kota pada umumnya masih keras dan tegas hingga menuai kritik serta reaksi lebih bringas pendemo.
Walikota Washington menilai aksi keras Polisi Washington "membuang" amunisi, bom merica dan bom kilat sangat memalukan. Muriel Bowser menilai langkah petugas kemanan Federal sepert itu hanya mempersulit tugas kepolisian, ujar walikota wanita kulit hitam tersebut.
Menyikapi sikap Polisi dan walikota dan mungkin Gubenur tidak mengambil langkah tegas Trump memeri warning sangat mengkhawatirkan. Dalam perkembangan terkini Trump berharap para Polisi, Walikota dan Gubernur harus dapat membangun hadirnya penegakan hukum secara tegas sampai kekerasan dapat di atasi.
"Jika sebuah kota atau negara menolak mengambil tindakan yang diperlukan (melindungi kehidupan dan harta benda warga) maka saya akan mengerahkan militer AS dan mereka akan sangat cepat menyelesaikannya" ujar Trump menyikapi semakin banyaknya polisi dan walikota bersikap low profile dalam meredam demo solidaritas terhadap Floyd yang kini berevolusi menjadi demo anti Trump.
Melihat pada karakter Trump yang tegas tampaknya Trump siap menghadapi risiko tertinggi, menyingkirkan peranan polisi dan sebaliknya mengedapankan "aksi militer." Kali ini untuk memberangus warganya.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H