Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Krisis Corona, Ini Masalahnya

13 Mei 2020   16:14 Diperbarui: 15 Mei 2020   00:02 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas menata sejumlah kartu peserta BPJS Kesehatan, di kantor pelayanan BPJS Kesehatan Cabang Bekasi, di Bekasi, Jawa Barat, ANTARA FOTO/Risky Andrianto/foc.(ANTARA FOTO/Risky Andrianto) via Kompas.com edisi 13 Mai 2020

Baru saja tiga bulan lega bernafas iuran BPJS Kesehatan mandiri turun sejak April, Mai dan Juni 2020 tiba-tiba pemerintah dalam hal ini Presiden membatalkan keputusan Mahkamah Agung (MA) dan menetapkan iuran tarif baru (naik) BPJS Kesehatan Mandiri.

Kenaikan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden nomor 64 Tahun 2020 yang telah ditandatangani 5 Mei 2020 lalu tentang perubahan kedua atas peraturan presiden (sebelumnya) No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Sebagaimana diketahui sebelumnya pada 9 Maret 2020 lalu MA menolak kenaikan iuran BPJS melalui putusan judicial review terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. "Kenaikan itu (100%) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat," ujar Jubir MA, Andi Samsan Nganro 9 Maret 2020.

"Salah satu paling berdampak adalah bidang ekonomi. Jika diturunkan lagi, kelompok paling berat merasakannya adalah kelompok masyarakat berekonomi menengah ke bawah" 

Dalam peraturan baru tersebut pada pasal 34 (1) disebutkan iuran untuk 2021 peserta mandiri kelas III sebesar Rp 35.000 per orang per bulan. (Jika dibandingkan tarif saat ini Rp 25.000 maka akan ada kenaikan mulai tahun depan sebesar 37%) 

Selanjutnya pada pasal 34 (2) peserta mandiri kelas II akan membayar menggunakan tarif baru (mulai 1 Juli 2020) yaitu sebesar Rp 100.000 per orang per bulan (naik sebesar 96%).

Selanjutnya pada pasal 34 (2) peserta mandiri kelas I akan membayar menggunakan tarif baru (mulai 1 Juli 2020) sebesar Rp 150.000 per orang per bulan (naik sebesar 87%).

Menyikapi keputusan tersebut sebagai warga negara yang baik dan taat aturan selayaknya menyikapi dengan patuh. Namun di sisi lain tanpa harus sekolah tinggi-tinggi sekalipun orang paham bahwa pandemi Corona itu bukan saja telah memangsa korban jiwa akibat sakit Covid-19 di mana-mana tapi juga telah melumpuhkan sendiri perekonomian masyarakat yang berdampak pada menurunnya penghasilan warga.

Seluruh dampak negatif diakibatkan pandemi corona itu mungkin lebih tepat disebut "krisis Crona" untuk merepresentasikan secara umumnya gejala negatif dalam berbagai aktifitas masyarakat, bangsa dan negara di seluruh dunia.

Salah satu paling berdampak adalah bidang ekonomi. Jika dirincikan lagi, kelompok paling berat merasakannya adalah kelompok masyarakat berekonomi menengah ke bawah.

Di saat orang - orang bergerombol membutuhkan bantuan presiden, bantuan langsung tunai, bantuan sosial dan bantuan provinsi, bantuan pra kerja atau apapun namanya itu seharusnya menjadi signal paling jelas bahwa orang-orang pada saat ini pada umumnya memilih berhemat, mengutamakan kebutuhan pokok, bisa memperoleh penghasilan dan mengurangi berbelanja meskipun banyak yang tidak "beruntung" memperoleh bantuan.

Itu sebabnya warga yang bergantung hidup pada masa normal melalui hutang meminta reschedule utang. Itu juga sebabnya warga berharap ada keringanan dalam membayar iuran listrik dan PDAM dan mungkin pajak-pajak lainnya pada masa sulit pandemi Corona saat ini.

Gambaran disebutkan di atas BUKAN berarti mengakomodir karakter manja dan mental malas bergantung pada bantuan, toh segala  bantuan itu juga merupakan program pemerintah dari jaman dulu hingga kini.

Oleh karenanya terobosan Presiden membatalkan keputusan MA dan menerbitkan aturan iuran kenaikan BPJS Kesehatan yang baru mestinya disikapi juga dengan arif dan bijaksana. Bukankah Presiden Joko Widodo dikenal paling perduli pada masalah warga pinggiran, kaum papa dan berpenghasilan rendah?

Mengapa idealisme Presiden Joko Widodo (perhatian) terhadap kaum menengah ke bawah justru paling dominan di negeri ini kini seperti tergerus oleh kepentingan lain? Bisa jadi banyak hal dan sebab dibalik keputusan itu misalnya membantu kondisi pemasukan negara yang kian tersengal-sengal akibat krisis Corona.

Negara terpaksa melupakan Anggaran Pendapatannya karena mendapat pukulan dari krisis Corona, bahkan yang terjadi adalah pengeluaran, pengeluaran dan pengeluaran hingga waktu yang belum jelas. 

Jika kondisi minus pertumbuhan ekonomi terjadi lagi dalam kwartal ke dua tahun ini bisa dipastikan negara bakal terjadi resesi. Beberapa pakar ekonomi bahkan mengkhawatirkan terjadinya depresi jika kondisi minus pertumbuhan berlarut hingga pada kwartal ke III tahun ini.

Mungkin itu sebabnya Presiden dan tim ahli ekonominya memeras otak bagaimana memperoleh pendapatan untuk negara dalam krisis corona ini. Salah satu cara paling cepat adalah menarik iuran dari warga misalnya menambah beban iuran BPJS.

Tetapi meningkatkan iuran warga dalam masa kirisis  corona seperti ini bisa jadi buah simalakama. Kebijakan itu bisa jadi pukulan balik untuk pemerintah apa lagi MA telah membatalkan rencana menaikkan iuran BPJS sebagaimana disebutkan di atas.

Lalu bagaimana pemerintah harus menggerakkan roda pemerintahan jika cadangan devisanya sudah kandas dan PDB nya minus dua kwartal berturut-turut?

Pemerintah harusnya melakukan penghematan, tidak jor-joran menghamburkan dana untuk kesehatan menghadapi wabah corona seperti panik menghadapi musuh yang tidak kelihatan dalam berperang. 

Pemerintah harus lakukan efisiensi dengan memangkas praktik koruptif dan bisnis dalam "proyek" pengadaan alkes dan aneka bantuan di level pusat hingga kabupaten.

Jika pemerintah memaksakan diri tentu warga tidak berdaya menolak atau membantahnya. Tetapi itu artinya Pemerintah mengambil tindakan yang tidak populer bahkan (dianggap) tidak berempati di tengah krisis ini. Kesannya warga diminta berempati pada kondisi minus yang sedang dihadapi pemerintah.

Berkacalah pada negara Tiongkok dan sejumlah negara lainnya bagaiman mereka bisa bangkit secepatnya meskipun pernah merasakan dampak besar akibat krisis corona. Bukan meratapi, panik dan heboh tidak berkesudahan lalu mencari pemasukan dengan jalan kurang berempati.

Ketika situasi telah aman dari kiris Corona nanti, menaikkan iuran BPJS Kesehatan tentu akan disambut lebih positif oleh warga dari pada saat ini. Bukan untuk meningkatkan kesejahteraan direktur BPJS dengan bonusnya yang gendut-gendut, tapi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun