Kerusuhan akibat phobia corona telah terjadi di Lapas Italia tepatnya di San Vittore, di kota Milan pada 9 Maret 2020 menyebabkan 6 napi tewas dalam kerusuhan tersebut.
Jika itu terjadi di sejumlah lapas di seluruh tanah air dengan jumlah tahanan mencapai ratusan ribu orang dan perlu diingat beberapa di antaranya adalah napi kasus kriminal sadis kelas wahid. Bayangkan jika mereka lolos dari lapas memanfaatkan kerusuhan, apakah mungkin atau tidak menuntut pembalasan pada lawannya?
Sebut saja napi kasus pembunuhan dan perkosaan atau napi perampokan lalu melarikan diri dengan melakukan kekerasan terhadap petugas LP. Dampak pelarian napi seperti itulah yang paling dikhawatirkan melebihi pasal konsekuensi kaburnya napi dari tahanan.
Terkait gejolak wabah corona, kegiatan penyemprotan disinfektan telah dilakukan di berbagai lingkungan dari kelurahan hingga ke bandara internasional dan fasilitas umum.
Di beberapa tempat disediakan juga antiseptik seperti hand sanitizer secara gratis guna menciptakan suasana nyaman bagi warga atau pengunjung atau penumpang yang akan berangkat dan tiba di bandara dan stasiun kereta api dan lain-lain.
Jika penanganan pencegahan seperti itu TIDAK sampai ke lapas atau rutan tampaknya itu adalah sebuah kelalaian. Sangat mahal harga yang harus dibayar jika terjadi kerusuhan sebagaimana disebutkan di atas.
Bayangkan seperti kisah kerusuhan di rutan Pekanbaru pada 5 Mei 2017. Sebanyak 200-an tahanan kabur meloloskan diri. Sejumlah napi yang ditangkap kembali dan sukarela kembali mengatakan sebabnya adalah karena persoalan tidak manusiawi. Sumber ini.
Kerusuhan melanda LP Tanjung Gusta Medan pada 11/7/2013, juga berawal dari perlakuan tidak manusiawi akibat kelangkaan air bersih selama beberapa hari.
Di Lapas Narkoba Kelas III Langkat, kerusuhan mengakibatkan ratusan "sporing" dari hotel prodeo-nya pada 16/5/2019 setelah membakar sejumlah mobil. Sebabnya, lagi-lagi masalah tidak manusiawi.
Dari catatan napi yang secara tertulis menyampaikan alasan kerusuhan terlihat beberapa dimensi tidak manusiawi, yaitu air tidak lancar, pelaksanaan ibadah dibatasi, kapasitas terlalu penuh, makanan tidak layak, harga makanan di kantin mahal, dan lain-lain.