Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Boleh Kalah dari Malaysia, Kini Natuna Tidak untuk Cina

7 Januari 2020   06:26 Diperbarui: 7 Januari 2020   12:13 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain klaim Indonesia mengacu pada aturan dunia tentang UNCLOS yang mengatur garis pantai dan ZEE 200 km setiap neagara sesiao konvensi PBB tentang Hukum Laut III (Unclos III) yang menetapkan batas-batas wilayah berdasarkan jarak dengan daratan. Namun, China mengklaim Sembilan Garis Putus-putus sudah ada sejak Perang Dunia II sebelum Unclos III lahir pada 1982, memperlihatkan betapa egoisnya China.

dokumen olahan penulis dirangkum dari berbagai sumber
dokumen olahan penulis dirangkum dari berbagai sumber
Indonesia pernah kalah dalam adu diplomasi dengan Malaysia saat memperebutkan pulau Sipadan (luas 50.000 meter) dan Ligitan (luas 18.000 meter) yang berada di selat Makasar.

Meskipun telah mengeluarkan aneka jurus termasuk "jurus pamungkas" berupa kepemilikan historis para datuk dan indatu pada masa "tempo doeloe," tetap saja Indonesia kalah dalam adu diplomasi.

Sengketa mulai mencuat sejak 1967 tetapi baru pada 1998 baru dibawa ke ICJ (MahkamahAgung PBB). Setelah beberapa kali persidangan akhirnya pada 17 Desember 2002 ICJ menetapkan secara sah dan meyakinkan ke dua kepulauan tersebut adalah milik Malaysia. Sebanyak 16 hakim memenangkan Malaysia dan hanya 1 hakim memenangkan Indonesia. 

Malaysia bersorak riang gembira. Melalui aneka taktik telah membangun kawasan yang "ditelantarkan" Indonesia sehingga warga merasa dianak tirikan. Pengembang Malaysia datang membangun kawasan tersebut hingga berpuluh tahun lamanya hingga jadi pemilik.

Barulah Indonesia tersadar bahwa "Ternyata telah keliru." Tapi apa daya nasi telah jadi bubur, fakta memperlihatkan seluruh fasilitas dan infrastruktur serta pembangunan di sana didominasi kontribusi Malaysia.

Klaim Indonesia padam seketika. Meski terjadi protes di seluruh tanah air tapi hangat cuma sekejap kemudian dingin, beku dan akhirnya meleleh tersapu angin pantai Sipadan dan Ligitan hingga tak terusik lagi sampai kini. Indonesia mampu menerima "kekalahan" dari tetangganya , Malaysia.

Apakah Indonesia mengulangi peristiwa yang sama? Ini bukan soal keunggulan dan kecanggihan teknologi alat dan mensin perang, tetapi kali ini Indonesia tidak akan menerima kekalahan dari China sebab berdasarkan pengalaman setiap negara musti mengacu pada aturan internasional. Oleh karenanya Indonesia mencegah upaya apapun mengeksploitasi kawasan tersebut termasuk mencegah China menanam investasi di ibukota Ranai. 

Berpenghuni tidak sampai 80 ribuan jiwa dan seluas 2009 km2 masih terasa sunyi dan minim fasilitas publik. Penduduknya mayoritas Melayu dengan penganut agama Islam mencapai 92%. Meskipun Melayu tetapi punya dialeg, gaya dan bahasa yang jauh berbeda dengan umumnya Melayu di seluruh  tanah air. 

Jangan sampai dua hal ini dijadikan bukti oleh China bahwa kawasan ini adalah kawasan peninggalan leluhur Cina daratan di jaman entah berantah dan (kata mereka) telah dilupakan Indonesia dari sejak "doeloe kalaaaaaa.."

abanggeutanyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun