Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Boleh Kalah dari Malaysia, Kini Natuna Tidak untuk Cina

7 Januari 2020   06:26 Diperbarui: 7 Januari 2020   12:13 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen olahan penulis dirangkum dari berbagai sumber

Rebutan perairan dan kepulauan kini panas kembali terkait klaim Tiongkok (China) terhadap perairan Indonesia di kepulauan Natuna. Meskipun klaim seperti itu telah berulang dilakukan bedanya kini sikap China sangat kontras dengan sebelumnya yakni hadirnya dua kapal penjaga pantai  (China Coast Guard) dan sebuah kapal pengawas perikanan yang santai mengawal sejumlah nelayan China sedang menguras isi laut Natuna.

Sikap keras kepala China kali ini benar-benar tidak menghargai aturan Internasional. Kehadiran TNI AL dianggap angin lalu. Hingga hari Senin 6/1/2020 upaya penambahan armada TNI AL ke kawasan perairan utara Natuna belum juga membuat penjaga pantai China gentar.

TNI telah menambahkan 2 KRI lagi (jadi 4 KRI) untuk menekan China keluar dari perairan tersebut ternyata (hingga saat tulisan ini dibuat) BELUM membuahkan hasil.

China kini semakin melebarkan kepakan sayapnya. Agresifitasnya di laut lepas makin menjadi-jadi. Impian menguasai perairan laut China selatan seluruhnya termasuk kepulaaun Paracel, kepulauan Spratly, kepulauan Pratas dan kepulauan Scarborough serta bagian utara laut Natuna (yang kini dipersoalkan) ditempuh dengan cara egois.

Padahal berdasarkan cuplikan sejarah kawasan China dari jaman Dinasti pertama, (Xia 2100 SM - 1600SM) hingga jaman Dinasti terakhir (Qing) bahkan sampai masuknya China ke dalam era modern (sejak 12 Maret 1912) tidak ada tanda-tanda hak China atas perairan hingga Natuna utara.

Klaim tersebut ternyata mengacu pada "impian" Zengmu Ansha yang dibuat pada 1935 dalam sebuah peta yang terdiri dari 11 garis putus (eleven dash line). 

Pada Desember 1947 cita-cita tersebut diwujudkan dengan menerbitkan sebuah peta dengan judul "Peta Kepulauan Laut Cina Selatan." Peta ini dibuat setelah Jepang kalah dan menyerahkan beberapa kawasan di Laut Cina selatan pada China. 

Tetapi 11 garis putus itu pun akhirnya berubah menjadi 9 garis putus pada 1953 setelah dua garis di teluk Tonkin diserahkan pada Vietnam utara yang sedang berperang dengan Vietnam selatan saat itu.

Klaim China seperti itu sesungguhnya tidak memiliki kekuatan hukum karena cuma mengacu pada perilaku ambisius pemimpin China jaman Mao Zedong dan Perdana Menteri Zhou Enlai saat itu yang bercita-cita membentuk luas pantai selebar 2 juta km persegi di laut Cina Selatan.

Maka tidak heran klaim seperti itu dinilai sangat rancu oleh banyak negara termasuk AS dan PBB yang berulang kali memperingatkan China bahwa klaim mereka atas perarian tersebut sangat tidak mendasar.

Shan Ziqiang, salah satu editor di National Geographic China sampai tak habis pikir melihat rencana ambisius China tersebut hingga menulis pada edisi 2013 "Sembilan garis putus-putus tersebut kini terukir dalam pikiran dan hati orang-orang China," menggambarkan secara implisit betapa tidak kuatnya dasar China menguasai kawasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun