Belum hilang dari ingatan tingkah polah Direktur Utama (Dirut) dan sejumlah Direksi masakapai Garuda Indonesia (GI) sebelumnya tiba-tiba dikejutkan kembali oleh pernyataan Pelaksana TUgas (Plt) Dirut GI sementara Fuad Rizal yang membandingkan tarif per kilometer pesawat lebih murah dari tarif per kilometer Ojek Online (Ojol).
Bos GI tersebut merinci, "Kami rata-rata 2.520 per Km, sementara kalau tarif online Gojek sudah 2600 per Km," kata Fuad dalam sebuah pertemuan di salah satu gedung Garuda di kawasan bandara Soekarno- Hatta kemarin (Jumat) 27/12/2019, menyikapi masih ada anggapan masyarakat bahwa harga tiket pesawat masih tinggi sehingga ia membandingkan tarif per km per kursi pesawat dengan tarif Ojol.
Kita paham sesungguhnya mengerti dengan pernyataan tersebut karena yang dibandingkan adalah satuan jarak (km) dengan tarif (rupiah) pesawat dengan satuan jarak (km) dan tarif Ojol. Topiknya pun berbicara tentang analisa harga dan jarak tempuh.
Akan tetapi menjadi aneh bahkan sangat aneh ketika seorang Dirut perusahaan multi nasional (mungkin juga dunia) memberi komparasi tidak seimbang dan mungkin tidak pada tempatnya.
Tidak seimbang karena yang satu adalah ojek (sepeda motor, becak atau mobil) sedangkan yang satu lagi adalah pesawat terbang. Beda kelas, beda berat, beda teknologi, beda investasi dan sebagainya.
Komparasi itu disebut juga tidak pada tempatnya karena membandingkan benda yang mampu terbang dan mengangkut penumpang hingga ratusan orang dalam jarak jauh dan waktu sangat cepat dengan ojol yang hanya mengangkut 1 orang (atau bebrapa penumpang).
Seharusnya atau sepantasnya tarif pesawat bandingkanlah dengan tarif pesawat. Boleh membandingkan dengan tarif pesawat komersial domestik atau di negara tetangga bahkan di negara nun jauh di sana.
Sebab jika tarif pesawat disandingkan dengan tarif ojol apakah boleh menyamakan tarif naik becak di Yogyakarta (rata-rata tarif per Km 12.000 - 15.000) lebih mahal dari pada tiket pesawat?
Tentu saja tidak bukan, karena beca hanya mampu dikayuh untuk beberapa kilometer saja dengan tenaga manusia. Fungsi dan maknanya pun sangat jauh berbeda sehingga dalam hal apapun tak pantas dikomparisasikan dengan taksi, mobil atau ojol dan sebagainya.
Ketika perbandingan ajaib itu dilontarkan oleh pejabat kelas wahid GI kontan saja menimbulkan berbagai reaksi warga netizen. Dari akun twitter milik kompas.com di @kompas.com kita dapat melihat aneka cibiran netizen menyikapi tanggapan big boss Garuda tersebut.
Seorang berstatus dr SPOG menanggapi santai tapi menohok sebagai berikut :
Seorang netizen lainnya berkicau tak kalah sengit. Reza menulis perbandingan itu benar-benar tidak selevel, mengingatkan lagi seorang penyanyi dangdung yang suaminya menjadi pilot di GI pernah membandingkan ojol dengan Garuda sebelumnya.
Hampir semua menanggapi senada dan seirama betapa dangkalnya komparasi perbandingan yang tidak seimbang dan tidak pada tempatnya tersebut.
Sebelumnya Iis Dahlia penyanyi dangdut juga pernah menampik suaminya menerima tips dan membandingkan soal pemberian tips pada pilot dengan pengemudi ojol. "Pilot itu bukan ojek online yang kalau sudah selesai antar barang dapat tips, dapat bintang. Bener kan?," ujar Iis di akun twitternya.
Apakah ada maksud merendahkan Ojol dibalik pernyataan dua anggota keluarga besar GI tersebut terhadap Ojek Online? Jawabannya tidak karena Iis pun sudah mengatakan tidak bermaksud merendahkan.
Akan tetapi pernyataan dua anggota besar GI membandingkan Ojol dengan Pilot atau dengan tarif Pesawat tampaknya ada semacam kegerahan terselubung keluarga besar GI (tertentu) terhadap Ojol. Mungkinkah Plt Dirut GI itu "tepo seliro" karena rumah Iis Dahlia "diserbu" pengemud Ojol ataukah keduanya melihat Ojol bagaikan sesuatu yang merusak pandangan, tak tahulah!
Kembali soal komparasi tidak seimbang di atas. Jika komparasi disampaikan oknum yang tidak berprofesi sebagai Dirut di perusahaan ternama mungkin saja orang-orang jadi maklum soal kedangkalan pernyataan tersebut. Akan tetapi jika hal itu disampaikan oleh seorang direktur kelas wahid? "OMG...!!" kata orang diluar sana.
Apa dan bagaimana penilaian menteri BUMN atau pihak berkompeten dalam melihat performa aparatur atau petugasnya seperti ini? Apakah ini dapat dijadikan cerminan kebobrokan intelijensi yang tertutupi selama ini atau hanya insidentil cuma hal-hal remeh temeh saja.
Sebaliknya, ataukah sesungguhnya para big boss GI adalah para pekerja ulung yang telah memberikan pengabdian nyawa untuk bangsa dan negaranya sehingga "keseleo" berbicara seperti itu hal yang biasa, dapat diabaikan. Mereka lebih terampil dan produktif dibanding para tukang kritik di berbagai media?
Terserah pihak berkompeten pilih yang mana menyikapinya. Yang jelas dari kacamata manapun secara umum para pejabat dan direktur atau orang-orang yang dipercayakan memimpin perusahaan besar berbicaralah sesuatu yang terkait bidangnya dengan alasan-alasan yang kongkrit, obyektif dan relevan, bukan asal bicara.
Kata orang lain, rasa-rasanya terlalu besar "keringat" perusahaan membayar gaji, tunjangan dan fasilitas untuk sumber daya manusia yang kurang kompatibel dibidangnya dalam perusahaan.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H