Meskipun Indonesia bukan obyek dari UU pemberian sanksi AS, The Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) tapi apa yang harus dilakukan jika bekerjasama dengan negara yang menjadi obyek CAATSA? Iran, Korea Utara dan Rusia dengan berbagai alasan adalah obyek dari UU "made in" AS tersebut.
Mesir pernah merasakan mendapat peringatan keras dari AS ketika berusaha membeli 20 unit Su 35 Rusia senilai 2 miliar USD. Menlu AS Pompeo dan Menhan Mark Esper memperingatkan Presiden Mesir, Sisi bahwa langkah tersebut akan mempersulit kerjasama AS - Mesir ke depan.
Sebuah surat resmi dikirimkan pemerintah AS kepada Menhan Mesir untuk membatalkan rencana tersebut, tulis WSJ pada 12 November 2019 lalu. Entah itu sebabnya atau bukan, faktanya belum ada perkembagan positif Rusia- Mesir terkait rencana pembelian Su-35 tersebut.
India juga mengalaminya, pada 5 Okotber 2018 memilih melanjutkan kontrak senilai 5 miliar USD untuk memperkuat sistem pertahanan udaranya dengan S400 Rusia juga dikecam AS.
Menyikapi teguran AS, Menteri Luar Negeri India pada saat itu S Jaishankar memberi pengertian pada AS, "Kami tidak ingin negara manapun memberi tahu kami apa yang harus dibeli atau tidak dibeli dari Rusia, seperti negagra manapun mengajari kami membeli atau tidak dari AS," ujarnya dalam kunjungan ke AS.
Hal sama terjadi pada Turki yang terjerat dilema saat memutuskan membeli sistem pertahanan udara S-400 Rusia. Turki disebut nekat karena juga mendapat tekanan dari sesama anggota NATO untuk membatalkan pesanan 6 sistem S-400 bahkan beberapa hari sebelum dikirim dari Rusia.
Turki melawan, hubungan dengan NATO khususnya dengan AS memburuk hingga secara vulgar AS mempertontonkan kekesalannya memihak pada kelompok Syrian Democratic Force (SDF) Krudi Suriah di utara Suriah berbatasan dengan Turki.
Tiba-tiba kita dikejutkan oleh pernyataan wakil Dubes Rusia di Jakarta, Oleg V. Kopylov mengatakan kepada pers bahwa sejumlah negara menekan Indonesia agar tidak membeli Su-35 Rusia. "Indonesia tetap berkeinginan melanjutkan kerjasama meskipun sejumlah negara mengancam. Itu sangat bagus karena Indonesia tidak merasa diancam," ujarnya tanpa berkenan menyebutkan negara mana saja yang berusaha menekan.
Meyikapi adanya desas-desus tersebut Staf khusus Menhan, Dahnil Anzar Simanjuntak menjelaskan "Indonesia adalah negara berdaulat, tidak bolehada negara manapun mengancam dan intervensi terkait dengan pertahanan Indonesia," ujarnya pada pers Rabu (18/12).
Tak perlu mencari tahu negara mana saja apakah itu sebab kita sudah pasti tahu kemana arahnya yakni AS dan karena beberapa kali sebelumnya AS melakukan tekanan dalam masalah ini, padahal pada 28 Agustus 2018, Menhan AS (saat itu) James Norman Mattis saat bertemu dengan Menhan Ryamizard Ryacudu di Hawaii mengatakan AS menjamin Indonesia tidak terkena sanksi atas rencana pembelian alutsista Rusia termasuk Su-35. Sumber AntaraNews edisi 29 Agustus 2018.
Tetapi ketika Dubes Rusia tiba-tiba mengeluarkan pernyataan tentang adanya tekanan sejumlah negara melarang membeli burung besi canggih tersebut tentu ada dasarnya. Tidak mungkin Rusia tiba-tiba mengeluarkan perang kata-kata tanpa ada bukti tekanan.
Rencana pembelian pesawat tempur Rusia sesungguhnya telah lama dibuat sebelum MEF 2014 dan hadirnya CAATSA. Pada 1996 kontrak pembelian Su-30KI pada jaman Presiden Soeharto gagal terlaksana akibat berbagai tekanan. Kabarnya AS sedang mengekang Indonesia dengan alasan dalam embargo militer dan pertahanan.
Pada 2003 (masih dalam embargo militer AS) dibuat kontrak kembali dengan Rusia dan akhirnya 2 unit pesawat tempur Su-27 tiba pertama sekali pada 10 September 2010. Setelah itu hingga kini TNI AU baru punya Su-27SK sebanyak 2 unit dan Su-27 SKM 3 unit. Sementara itu Su-30MK (2) dan Su-MK2 (9).
Jumlahnya masih sedikit sekali padahal TNI AU (sesuai dengan panduan MEF) Indonesia berencana punya 8 squadron aneka jenis pesawat tempur hingga 2024. (Satu skadron terdiri dari 12 pesawat tempur.)
Sesuai dengan buku Putih Kementerian Pertahanan (Minimum Essential Force 2014) kekuatan minimum Indonesia hingga 2024telah diatur di sana termasuk modernisasi bidang pertahanan udara. Disebutkan di sana berbagai macam bentuk kerjasama pertahanan dengan sejumlah negara termasuk Rusia. Kerjasama dengan Rusia disebutkan di sini dengan jelas.
Sesuai dengan rencana telah disusun sebelumnya Indonesia telah berencana menambah kekuatan dengan jet tempur Sukhoi lebih tinggi dari yang sudah ada yakni Su-35. Untuk itu Dephan telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 16,75 triliun (1,14 miliar USD pada saat itu). Kerjasama itu telah dibuat di Moskow pada akhir 2018 untuk pengadaan 11 unit Su-35.
Ketegangan pembelian alutsista Rusia sering dialami oleh negara pembeli lainnya sebagai contoh Mesir, India dan Turki di atas, jadi bukan karena Indonesia saja. Tetapi kisah pengalaman pembelian pesawat tempur Sukhoi Rusia perlu kita segarkan kembali.
Pada 11 September 2010 sebanyak 3 orang teknisi Su 27 asal Rusia di Lanud Makasar tewas sehari setelah 2 Su-27 dibongkar dari pesawat angkut Antonov. Peristiwa itu sempat timbul ketegangan karena media Rusia mengatakan ada unsur sabotase di dalamya. Artikel penulis tentang hal itu dapat dilihat di sini.
Selanjutnya terjadi peristiwa naas terhadap pesawat komersial penumpang SSJ-100 pada 9 Mei 2012 di gunung Salak Bogor. Saat itu timbul dugaan adanya persaingan tajam antara perusahaan Boeing dan Sukhoi untuk pasar penumpang komersial di Indonesia. Setelah peristiwa faktanya Indonsia gagal meneruskan rencana pembelian SSJ-1oo Sukhoi.
Pembelian pesawat Su-35 adalah hak kedaulatan kita tapi perlu disikapi dengan cara bijaksana, salah satunya adalah membuka kran "2 pintu" seperti dilakukan India, tetap memesan helikopter chinok, misil udara ke udara dan lain-lain.
Hal sama bisa kita terapkan dengan membeli Su-35 tapi juga tetap membeli peralatan tempurnya dari AS misalnya transportasi Hercules dan sebagainya jika memenuhi anggaran.
Tampaknya AS (dengan alasan CAATSA) tidak akan efektif menekan sebuah negara melarang kerjasama militer dengan Rusia selama negara bersangkutan memberikan pengertian dengan sikap tegas dan lugas, bukan dengan marah-marah, emosi apalagi melawan.
Bisa jadi fungsi CAATSA itu tidak efektif alias "impoten" menjalankan sanksi-sanksi yang disebutkan di dalamnya terhadap Rusia,Iran dan Korut termasuk negara yang bermitra dengan mereka sesuai subyek kerjasama yang telah dilarang.
Walaupun demikian pandai-pandailah meniti buih dalam kerjasama tersebut sebab "mata" AS siap akan membocorkan apapun rahasia termasuk jika berpotensi adanya korupsi (suap) dalam pembelian tersebut. Pasti Paman Sam akan habis-habisan membongkar pada publik karena tidak rela kue pasar pesawat tempurnya direbut Rusia.
Lebih diwaspadai lagi adalah semoga tidak ada celah bagi AS untuk melampiaskan kelemahan CAATSA nya dengan cara tidak demokratis.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H