Hari itu, 21 September 2018 adalah Jumat kelabu bagi pemuda berusia 20 tahun Carlos Sanchez Martin yang sedang menikmati musik dari headset-nya sambil mengendarai skuter listrik sewa "lime." Ia melintasi sebuah kawasan Dupont Circle di salah satu sudut jalan di Massachusetts avenue.
Sebuah mobil SUV BMW X3 yang baru saja berbalik arah di sebuah tempat dilarang memutar melaju lalu ke arahnya. Terjadilah peristiwa naas, Carlos ditabrak, tubuhnya tersangkut di kolong SUV sejauh 10 meter. Perlu waktu hingga 15 menit mengeluarkan tubuhnya dari sana dan ia tewas dalam perjalanan ke rumah sakit.
Carlos Sanchez Martin pun telah dicatat sebagai korban jiwa (tewas) pertama di AS dalam kecelakaan e-scooter (skuter listrik). Setahun setelah itu, korban jiwa di AS bertambah 4 orang lagi (jadi 5 orang) hingga 20 September 2019 lalu.
Di tempat lain, nun jauh dari AS, korban pertama lainnya adalah Emily Hartridge (35) terjadi di Inggris. Emily adalah presenter TV terkenal dan Youtuber kaya raya. Dia tewas di sebuah bundaran di Battersea, South West London, setelah ditabrak Truk pada 13 Juli 2019.
Tidak sampai sehari kemudian menyusul tewas seorang remaja pria (14) juga meregang nyawa dalam kecelakaan tunggal akibat lepas kontrol. Mengendarai skuter dengan kecepatan maksimal (5o km/jam) tidak mengenakan helm dan terjatuh hingga merenggut nyawanya.
Di Singapore, madam Ong bee Eng (65) mungkin saja jadi korban tewas pertama akibat sepeda yang dikendarainya ditabrak skuter listrik pada 26 September 2019. Di Singapore skuter listrik masuk katagori Personal Mobility Device (PMD). Eng jadi korban tewas pertama dalam katagori PMD.
Di Indonesia, korban jiwa akibat kecelakaan skuter listrik pertama adalah Ammar dan Wisnu. Sebagaimana diketahui keduanya ditabrak mobil di sebuah kawasan yang bukan diperuntukkan bagi pengendara skuter listrik.
Hingga hari ini tidak jelas berapa sudah jumlah korban tewas di AS, Inggris, Singapore dan Indonesia serta seluruh dunia akibat kecelakaan skuter listrik dengan kendaraan lain atau dengan pejalan kaki. Sebuah sumber, BBC edisi 6 Agustus 2019 melaporkan sejak Januari 2018 hingga Juli 2019 telah terjadi 11 korban jiwa di Paris, Brussels, Barcelona hingga London saja.
Satu sisi, booming kebutuhan pada kendaraan mungil ini semakin tinggi tetapi persoalan di balik animo itupun makin sering terjadi di mana-mana. Akibatnya kini beberapa negara telah membuat aturan khusus dan terbatas terhadap penggunaan otoped tersebut.
Swedia membuat larangan terbatas, hanya membolehkan skuter listrik bergerak pada jalur sepeda dan dengan kecepatan maksimal 20 km per jam.
Perancis menetapkan sumbangan 1 euro untuk pemugaran katedral Notre Dame pada setiap sewa skutir listrik. Terakhir, Perancis menerapkan sanski berupa denda 135 euro bagi pengendara skuter listrik di trotoar dan denda 35 euro bagi pengguna yang meletakkan skuter secara sembarangan di pedistrian atau trotoar.
Inggris melarang ketat kendaraan "teletubbies" tersebut. Pengguna boleh menggunakannya hanya di atas tanah milik sendiri. Melanggar aturan akan dikenakan sanksi sebesar 300 euro. Sumber: BBC.
Belgia menetapkan penggunaan skuter hanya pada jalur sepeda dengan kecepatan maksimal 25 km per jam.
Di AS, Tennessee melarang total e-scooter. Washington melarang beroperasi diwaktu malam tapi mengizinkan pada siang hari dengan kecepatan maksimal 20 km per jam. Sementara Atlanta membuat moratorium secara total.
Tampak jelas posisi sekuter listrik seakan-akan musuh baru yang telah menimbulkan gangguan ketenangan dan membahayakan jiwa penggunanya dan orang lain sekitarnya. Padahal di sisi lain kehadirannya sangat dibutuhkan karena dapat memecahkan masalah transportasi yang simpel dan murah.
Tidak ditemukan informasi lebih lanjut tentang pengemudi BMW LX3 di AS dan pengemudi truk di Inggris yang dipenjara akibat menabrak pengendara skuter listrik masing-masing hingga tewas.
Di Singapore, penabrak madam Eng dilepaskan dengan jaminan 15.000 SD sambil menantikan keputusan sidang pada 25 Nopember akan datang.
Sementara di Indonesia penabrak Ammar dan Wisnu hingga tewas (setelah) ditetapkan sebagai tersangka justru tidak ditahan. Cukup wajib lapor saja padahal pengemudi terbukti habis mengkonsumsi alkohol (Kompas.com). Ironisnya, sebelumnya DW (pelaku) telah ditetapkan melanggar UU No.22/2019 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 310-311.
Itu sebabnya desakan tentang aturan berskuter ria kini jadi sorotan serius di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Khusus di negara kita perlu segera terbit aturan yang jelas secepatnya. Jika tidak diantisipasi dari segera orang bisa menduga macam-macam: penabrak kebal hukum; punya duit; beking kuat; keluarga pejabat dan sebagainya meskipun Kasubditgakkum Polda Metro Jaya, Kompol Fahri Siregar telah memberi penjelasan, tidak ditahan bukan karena anak pejabat.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H