Apapun alasan dibalik pro, kontra dan kebijakan IG dalam menghapus tombol like tersebut perlu kita lihat sejenak apa kaitannya antara gangguan kesehatan mental yang disebutkan dengan jumlah perolehan 'likes" dalam sebuah media sosial misalnya di IG yang sedang kita bahas ini.
Benarkah apa yang dikhuatirkan Kim?
Seorang profesor dari New York University, Adam Alter, memaparkan, dampak psikologis (sensasi) dari ketergantungan likes di IG (atau medsos lainnya) yaitu tumbuhnya rasa percaya diri dan kesenangan. Alter menilai, sensasi tersebut sama dengan menggunakan narkoba.
"Begitu Anda minum obat, minum alkohol, merokok, seperti itulah racun Anda ketika mendapat like di media sosial, semua pengalaman itu menghasilkan dopamin, yang merupakan bahan kimia yang berhubungan dengan kesenangan," kata Alter . Selengkapnya dapat simak di businessinsider edisi 25 Maret 2017.
Sebuah penelitian lain hampir sama memperlihatkan konsentrasi dimedsos cenderung lebih fokus pada teman ketimbang lainnya. Dalam laporan Joanne Orlando, salah satu peneliti dari Western Sydney University mengatakan media sosial membuat mereka para pengguna lebih dekat dengan teman (78%), mendapat informasi (49%), dan terhubung dengan keluarga (42%).
Apakah "racun" yang bikin ketagihan atau terganggunya kesehatan mental penggunanya itu bikin bos IG memutuskan melenyapkan tombol mini tersebut? Atau adakah alasan lain yang lebih bersifat ekonomis?
Tak tahulah mana yang benar. Hanya waktu sajalah yang akan membuktikan apa maksud sesungguhnya dibalik menghilangkan sebuah tombol yang kecil mungil tapi bikin ketagihan luaaar biasa itu.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H