Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Tengku Dzulmi Eldin (TDE), Wali Kota Medan pada Rabu dini hari (16/10/2019) dari rangkaian Operasi Tangkap Tangan yang dijalankan sejak Selasa malam (15/10/2019). Selain DE juga ditangkap 6 orang lainnya sebagai penyuap dan penerima suap.
TDE diterbangkan ke Jakarta pada pukul 6 pagi untuk melaksanakan pemeriksaan di gedung Merah Putih KPK. Sesuai dengan hasil pemeriksaan pada 17 Oktober 2019 wali kota yang sarat prestasi itupun ditetapkan sebagai tersangka.
Tiga hari setelah walikotanya diterbangkan ke Jakarta, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi pada Sabtu (19/10/2019) bertindak. Melalui keterangan pers, ia melarang ASN (pejabatnya) memenuhi panggilan siapapun tanpa ada Surat Tugas yang ditandatangani Sekda Provinsi atas izin Gubernur.
Tindakan tegas Edy Rahmayadi tersebut mengacu pada surat edaran yang telah diterbitkan 3 bulan yang lalu.
Untuk diketahui pada 30 Agustus 2019 lalu, Gubernur (atas nama Sekda) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 180/8883/2019, intinya melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam jajarannya pergi memenuhi panggilan Polisi, Kejaksaan dan KPK tanpa izin Gubernur yang dibuktikan dengan Surat Perintah Tugas yang ditandangani oleh Sekda Provinsi Sumut.
Surat itu ditujukan kepada Asisten, Kepala Dinas dan Kepala Biro. Sesuai dengan penjelasan pada poin 1 dan 2 Surat Edaran tersebut menetapkan pelanggaran terhadap ketentuan di atas akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam penjelasannya Gubernur Sumut, menilai bahwa pemanggilan terhadap pejabatnya tanpa izin dari Gubernur justru menghambat proses penegakan hukum, dan itu dapat dipidanakan..
Edy tidak setuju surat edarannya dianggap memperlambat proses hukum. Dia mencotohkan ASN sebagai anak dan Sekda sebagai orang tua dan Gubernur sebagai bapak maka tanpa izin orang tua seorang anak tidak dibolehkan berpergian. "Namanya orang tua, kalau anaknya tidak mendapat izin, nanti tak direstui sama orang tua. Inilah orang tua" ujarnya.
Sikap Gubernur Sumut diperkuat oleh Kepala Biro Hukum Pemprov Sumut mengatakan bahwa surat tersebut sama sekali tidak bermaksud menghambat proses hukum justru melaksanakan tertib administrasi.
Benarkah surat edaran Gubernur dan pernyataan pers Gubernur Sumut diatas tidak melanggar aturan?
Seminggu setelah terbitnya surat edaran Gubernur tersebut Kejaksaan Tinggi Sumut menerbitkan surat tanggapan bahwa surat edaran gubernur dapat dikategorikan sebagai perbuatan dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap para saksi dalam perkara korupsi (Kompas.com edisi 19/10/2019).
Kapolda Sumut Irjen Pol Agus Andrianto juga menanggapi surat edaran itu. Menurutnya hal itu berpotensi menghambat upaya penegakan hukum. Namun begitu, Polisi tetap akan tetap berpedoman pada prosedur penegakan hukum yang dilakukan selama ini.
Kepala seksi hukum Kejati Sumut, Sumanggar Siagian menilai surat edaran tersebut akan jadi penghambat karena alasan belum selesai adminstrasi. "Ini bisa bisa dijadikan alasan oleh ASN untuk tidak memenuhi panggilan. Bisa saja mereka berkilah surat tugas belum keluar atau belum ditandatangani pimpinan," ujarnya. Sumber CNN esisi 19/10/2019.
Jika mengacu pada peraturan Mendagri No.12/2014 pasal 13 ayat (1) mengatakan : Tidak ada keharusan ASN yang dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Penyidik/Penyelidik Kepolisian RI, Kejaksaan RI dan KPK RI terkait perkara Pidana memperoleh ijin dulu dari Gubernur.
Berdasarkan tanggapan Kejati, Kapoldasu dan Peraturan Mendagri di atas aturan manakah yang lebih kuat dan berlaku. Mungkinkah ada semacam hak Diskresi Gubernur untuk melakukan tindakan melalui terbitnya aturan yang sesuai dengan kondisi wilayahnya?
Jika memang ada dan dibolehkan Guberur memberikan Diskresi termasuk dalam masalah pidana Korupsi tampaknya ke depan semua ASN yang terlibat (diduga terlibat) kasus korupsi akan membuat posisi KPK menjadi sulit dan lambat.
Dalam situasi demikian berbagai kemungkinan lain bisa saja terjadi termasuk konsolidasi untuk "misi" yang sama, misalnya menghilangkan barang bukti. Selain itu "hapal" beberapa kalimat pendek dengan baik, yaitu sebut saja : Tidak Tahu; Tidak Paham; Tidak berkorelasi dengan substansi masalah, Tidak Ingat atau Sudah Lupa, asal "Tidak Lupa Ingatan."
Kini polemik tentang surat edaran tersebut bermunculan dimana-mana. Karo Humas Pemprov, Andi Faisal menyatakan surat edaran tersebut berlaku internal, bukan untuk masyarakat umum. "Agar pimpinan mengetahui mana-mana ASN yang sedang menghadapi masalah hukum," ujarnya.
Kebingungan masyarakat dan ASN pun tak terelakkan, aturan mana yang harus dilaksanakan? Panggilan KPK tidak dipenuhi tiga kali oleh seorang untuk dimintai keterangan maka yang bersangkutan akan dijemput hadir oleh Polisi.
Ironisnya jika hadir tanpa surat tugas dari Pemprov atau pemkot bisa jadi ketika pulang dari penyidikan (tiba dikantor) justru memperoleh "Surat Sakti" misalnya pembebasan dari tugas atau jabatan.
Membingungkan, pantas jadi polemik
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H