Safari politik Prabowo Subianto ke sejumlah ketua partai politik (parpol) dalam seminggu terakhir banyak menyita perhatian publik. Banyak dugaan politis di balik manuver Prabowo.
Sebagian orang menilai langkah tersebut cuma meminta pandangan dari para ketua parpol tentang langkah politik secara umum ke depan. Sementara para pengamat lain menilai langkah tersebut adalah sebuah sinyal kuat penunjukan Prabowo sebagai salah satu menteri Kabinet Kerja 2 dalam pemerintahan Joko Widodo.
Berkaitan dengan hal tersebut kini sangat banyak beredar dugaan telah ada tawar menawar politik di mana Prabowo akan menempati posisi sebagai Menko Polhukam. Sementara pengamat lain mengatakan posisi Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Bahkan ada yang mengira Prabowo akan menempati pos sebagai Menteri Luar Negeri.
Secara tradisional partai pemenang Pemilu memegang tiga matra utama kementrian yaitu Mendagri, Menlu, dan Menhan. Itu berarti PDIP mendapat 3 "jatah" posisi utama di atas.
Akan tetapi kali ini tampaknya beda. Megawati harus "merelakan" salah satu posisi utama itu diberikan pada sang "adik" tidak separtai, imbalan tali asih atas mencairnya sikap keras Prabowo dari bara politik pasca kekalahannya dalam Pilpres 2019 lalu.
Rendahkah posisi sebagai Menteri Dalam Negeri bagi calon bursa Presiden RI tersebut? Tampaknya tidak. Justru posisi ini lebih pas daripada Prabowo menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu) atau menjadi Menteri Pertahanan. Mengapa?
Sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) posisi Retno Marsudi tak tergoyahkan, srikandi itu telah jadi ikon duta negara hingga saat ini. Kelihaiannya berdiplomasi lemah gemulai namun cerdas telah membuat ia terkenal di seluruh dunia.
Wanita tamatan universitas terkenal di luar negeri itu pun sudah berpengalaman sehingga terlalu berisiko jika menggantinya dengan sosok lain apalagi sosok yang kurang kompatibel dengan persyaratan minimal Menlu sekalipun.
Sebagai Menhan Probowo kurang cocok pada posisi tersebut karena beberapa tingkah polah Prabowo selama kampanye Pilpres lalu lebih memperlihatkan adanya perpecahan dalam tubuh militer dan polisi sehingga bekasnya tetap terbawa sampai saat ini, yaitu citra negatif.
Meskipun latar belakang Prabowo dari karier militer 24 tahun (hingga berhenti pada 1988) namun citra negatif di mata militer dan kepolisian masih membekas sehingga hingga kini.
Sekecil apapun pandangan negatif terhadap Prabowo dari kedua lembaga tersebut ini dapat menganggu saat bertugas nanti. Pengabdian hebat 24 tahun seakan sirna dalam hitungan bulan akibat terpapar kampanye "hitam" dalam pilpres 2019 lalu.