Sebuah pesawat patroli milik Angkatan Udara Turki, RF-4E Phantom ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Suriah dekat perbatasan pada 22 Juni 2012 menyebabkan dua pilot dan copilotnya tewas. Pesawat tersebut menyasar ke kawasan Idlib yang dikuasai pemberontak Suriah dalam payung pasukan pembebasan the Free Syrian Armi (FSA) dukungan Turki.
Sejak saat itu pesawat tempur angkatan udara Turki (Turk Hava Kuvvetleri) tidak pernah lagi menyusup terbang ke dalam wilayah udara Suriah baik di bagian barat sungai Eufrat yang dikuasai SAA maupun sebelah timur dikuasai Syrian democratic Force (SDF) dukungan AS.
Setelah pasukan SAA memperoleh kemajuan signifikan dalam front idlib barulah pada awal 2019 drone (UAV) Turki mulai berani masuk menyusup kembali ke udara Suriah dengan alasan mengawal pasukan Turki yang sedang menuju pos pemanatau (Observation Post) yang berjumlah 13 titik antara Idlib, Aleppo, Hama dan Latakia (sesuai serangkaian perjanjian Astana).
Pada 19 Agustus 2019 dalam upaya mengirim perbekalan untuk pasukan pemantau (OP), Turki mengirim konvoi sangat besar ke kawasan pos pemantau Morek dan kota Khan Shaykhun yang jatuh ke tangan SAA dari penguasaan FSA 2 hari sebelumnya. Rombongan besar Turki "dihentikan" 20 km sebelum mencapai Khan Shaykhun (dari arah Idlib).
Pesawat tempur Suriah menyerang dan menghancurkan 3 unit kendaraan milisi yang ikut dalam barisan terdepan konvoi tersebut menyebabkan 3 milisi dukungan Turki tewas. Konvoi itu kini berhenti di kota Mara't Hitat, 13 Km sebelum kota Khan Shaykhun. Kota Khan Shaykhun sendiri kini sepenuhnya dalam kontrol tentara Rusia (untuk menghindari pergesekan tentara Suriah dan Turki di pos Turki dekat kota itu).
Tak terima konvoinya diserang "nyamuk nakal Suriah" angkatan udara Turki mengirim 2 unit F-16 dari arah utara (Idlib) masuk ke kawasan Suriah dekat peristiwa terjadi. Sebelum mencapai sasaran, dua unit F-16 itu diintersep oleh dua Su-35 yang terbang dari pangkalan udara di Latakia berusaha memotong jalur pesawat tempur Turki yang memberi pesan melarang menuju ke sasaran. Pesawat Turki itu pun kembali ke dalam wilayahnya.
Pada awalnya kejadian itu sepertinya diragukan keasliannya, dianggap mengada-ada. Akan tetapi peristiwa "dog fight" singkat itu kini sudah diketahui umum dan memang benar-benar terjadi.
Di sebelah timur sungai Eufrat, AS yang mendukung SDF juga mendapat tekanan Turki bertubi-tubi. Pemerintah Turki melalui Menlu Mevlut Cavusoglu dan Presiden Recep Tayyip Erdogan berkali-kali menjerit, merepet-repet. Kadang mengingatkan penolakan AS akan merusak hubungan ke dua negara JIKA tidak setuju joint operation dan menciptakan "Safe Zone" di kawasan dikuasai SDF sepanjang koridor perbatasan dengan Turki.
Taktik maju mundur dan tarik ulur diperagakan AS tidak membuat Turki puas sebelum memperoleh haknya (katanya atas nama keamanan perbatasan Turki, demi alasan relokasi pengungsi Suriah dan atas dasar sesama anggota NATO). Dengan seluruh persyaratan dibuat Turki membuat AS dilematis apalagi melihat pergerakan konvoi militer Turki sedang bergerak ke sana kemari ke berbagai lokasi sepanjang perbatasan Turki Suriah.
Lambat tapi pasti akhirnya AS meluluskan permintaan Turki. Pada 7 Agustus 2019 setelah pertemuan alot 3 hari antara pejabat tinggi dan pimpinan militer kedua negara (AS dan Turki) mencapai kesepakatan di Ankara, yaitu :
- Joint operation sedalam (maksimal) 32 km (meskipun AS awalnya menetapkan 14 km) sepanjang 410 km perbatasan bagian timur sungai Eufrat
- Tidak boleh ada milisi Kurdi Suriah atau Syrian Democratic Force (SDF) dan milisi lainnya dalam jarak tersebut
- Tidak boleh ada senjata berat Turki dan SDF dalam kawasan sedalam 9 km dari perbatasan Turki.
- Setuju pembentukan Joint Operation (patroli darat dan udara bersama)
- Setuju pembentukan Joint Centre Command Room
Pada 21 Agustus 2019 Menteri Pertahanan Halusi Akar menjelaskan hasil pembicaraannya dengan rekannya Menhan AS, Mark Esper bahwa kerjasama itu berlaku tanpa kehilangan waktu (untuk waktu yang tidak terbatas-red).
Dunia menilai Presiden Erdogan dan pejabat tinggi Turki "menang" dalam adu siasat diplomasi melawan AS sekaligus menang tanpa perang melawan SDF, PKK bahkan melawan aliansi SAA dukungan Rusia dan Iran. Pantas Erdogan mengatakan itu adalah prestasi kemenangan luar biasa Turki.
Turki memang pantas jumawa. Taktik dan strategi apapun diterapkan berujung pada tujuan akhir "menang tanpa perang." Terlepas apapun maksud dan tujuan Turki dibalik upaya membentuk kawasan "safe Zone" disebut diatas Tuki tersenyum sumringah.
Join visit dibidang udara pun kini mulai bergeser ketika AU Turki diperbolehkan terbang sendiri tidak perlu lagi "ditemani" oleh AS dalam operasi udara bersama yang diberi judul (CJTF-OIR) Operation Inherent Resolve.
Pertama sekali AU Turki melenggang di angkasa Suriah dari utara hinnga ke arah Raqqa terjadi pada 23 September 2019. Selama dua jam (10.00 - 12.00) dua unit F-16 Turki melaksanakan "The Natural Stability Operation" (di darat dan udara). Sumber : twitter.com.
Setelah itu berturut-turut hingga 27 September 2019 Turki "melenggang" melesat kemana suka bahkan kini mencapai ke arah kota Deir Ezzour tanpa merasa khawatir diancam Rusia apalagi Suriah dan SDF.
Turki sumringah tidak kepalang seakan memperlihatkan kepuasannya pada dunia dalam program "The Natural Stability Operation" bersama AS.
Puaskah Turki? Tampaknya belum maksimal, hal ini terlihat dari pidato Erdogan pada 24 September 2019 lalu dalam sidang umum PBB mengatakan "safe Zone" yang diharapkan Turki adalah dari Raqqa hingga Deir esz Zour. Selain itu Menlu Turki juga mengatakan belum puas pada Washington terkait usaha menciptakan Safe Zona. Sumber : RojavaNetwork.
Apapun tingkat kepuasannya yang jelas kini Turki telah "nikmat" melenggang di atas angkasa Suriah sambil intip-intip proyek lama yang sempat tertunda. Tidak tahulah seperti apa jenis proyek itu. Hanya Turki yang tahu, hehehehe..
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H