Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siapa yang "Pesan" Rektor Impor?

11 Agustus 2019   04:22 Diperbarui: 11 Agustus 2019   23:44 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rektor dari luar negeri (asing) diperkirakan bakal "action" di tanah air mulai 2020. Issunya kini menghangat, terlebih setelah Kepala staf kepresidenan Moeldoko menyampaikan tanggapannya bahwa rencana itu bertujuan untuk membangun iklim kompetitif di semua perguruan tinggi di tanah air.

Jika ingin mensejajarkan diri dengan universitas top dunia lihatlah beberapa profil universitas dunia tentang sikap mereka terhadap posisi rektor berikut ini.

  1. Universitas Washington (UW). Berdasarkan informasi dari  topuniversities.com  kini (2019) menempati ranking 33 dunia. Sejak dipimpin rektor Asa Mercer (1861-1863) hingga Ana Maurie Cauce (2015 -- saat ini) sebagai rektor (President) ke 33 UW belum pernah dipimpin oleh rektor rektor asing.
  2. Swiss Federal Institute of Technology, ranking ke 6 dunia versi yang sama. Sejak dipimpin rektor asli dalam negeri Jean mark Samuel Issac Mousen (1803-1830) seorang politkus hinnga Walter Thumherr (2016 -- saat ini) semuanya orang asli Swiss. Latar profesi mereka pada umumnya dari politkus pebisnis dan teknokrat.
  3. Universitas of Tokyo (U Tokyo), rangking 22 dunia. Dahulu pernah disebut Imperial University dan Tokyo Imperial University. Sejak dipimpin oleh rektor (Presiden) Hiroyuki Kato (1877-1886) hingga Makoto Ginokami (2015 -- sekarang) senantiasa diisi oleh putra terbaik daerah asli Jepang.
  4. Delft University of Technology, ditetapkan sebagai TU Delf pada 1986 adalah rangking 50 besar dunia saat ini. Sejak awal berdiri padahingga saat ini dipimpin oleh Tim van der Hagen (sejak 2018 - sekarang) juga dijejali oleh putra Belanda.
  5. University of Malaya  (UM) ranking 70 dunia saat ini. Sejak pertama berganti nama menjadi Malaya Universiti pada 1948 universitas ini awalnya dipimpin oleh rektor asing, yakni Sir Geroge V. Allen, guru besar asal Inggris ( sejak 1949 -- 1952) dan setelah itu beberapa kali dijabat oleh orang asing.  Akan tetapi sejak 1968 sampai saat ini dijabat oleh putra-putri lokal. Rektor saat ini dijabat oleh YBhg. Datuk Ir. (Dr.) Abdul Rahim Hj. Hashim sejak 1 Nopember 2017.
  6. Lund University, rangking 92 dunia saat ini. Universitas yang disebut sudah ada sejak 1666 ini telah menciptakan rektor sangat banyak. Rektor saat ini adalah Torbjrn kesson von Schantz seorang profesor zoologi. Dia menjabat dari 1 January 2015 hingga akan berakhir pada 31 December 2020 nanti. Dia menggantikan rektor sebelumnya Per Ericson juga orang Swedia asli yaitu salah satu profesor elektro terkenal di negara itu .
  7. Macquarie University, Australia, rangking 237 dunia. Rektor pertama Garfield Barwick menjabat (1967-1978). Dia adalah seorang hakim agung asli Australia. Kini universitas tersebut dipimpin oleh Michael Egan (2008 - kini). Dia seorang Australia. Pernah sekali dipimpin rektor asing pada  1994 -- 2001 Timothy John Basley dari Inggris dan berpengalaman di AS tapi kini justru dipegang oleh akdemisi lokal.

Cukuplah 8 contoh saja melihat universitas terkenal di atas, apakah mereka memerlukan rektor impor (tenaga asing) untuk terciptanya daya saing dan mencapai kualitas yang memuaskan?

Faktanya adalah terjadi transformasi keahlian dari tenaga asing kepada tenaga lokal (dalam negeri), bukan dibalik dari tenaga lokal menjadi tergantung pada tenaga rektor impor.

Para cendikiawan tanah air tidak apriori. Mereka pasti paham bahwa peningkatan kualitas setiap universitas memang harus dengan meningkatkan daya saing  dam peningkatan kualitas di segala bidang secara simultan terus meningkatkan dan memelihara akreditasi universitas.

Pengawasan akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT). Menurut data BAN PT, saat ini terdapat 95 lembaga berakredetasi A, 877 akredtasi B dan 1.280 dengan akretasi C.

Bagi universitas berakreditasi A perguruan tinggi yang telah memperoleh akreditasi A pun diharapkan bisa meningkatkan standar mutu Tri Dharma perguruan tinggi agar mendapatkan pengakuan internasional, sebagaimana dikutip dari kompas.com.

Apakah mendatangkan rektor impor itu berati telah berupaya meningkatkan mutu, meningkatkan akreditasi atau melaksanakan standar mutu Tri Dharma perguruan tinggi?

Hampir menjadi kodrat pada umumnya manusia selalu ingin memperthankan zona nyaman dan alergi dengan sistem yang bersifat pembaharuan termasuk aturan baru, seperti kata kepala staf Presiden, Moledoko bahwa segala sesuatu yang baru (akan) diterapkan biasanya selalu ada penolakan. "Barang (kebijakan) baru kan biasa begitu (ditolak). Tapi nanti lama-lama kan enggak," ucap Moeldoko. 

Pantas sejumlah rektor dan akademisi nasional tampaknya gerah dengan rencana tersebut. Bukan apriori, tapi penempatan posisi tersebut pada issu Rektor impor memang gagal paham.

Pertimbangan itu tentu bukan soal ingin bertahan pada zona nyaman tapi karena tidak produktif bahkan di luar master plan jangka panjang untuk negara dan bangsa ini khususnya dalam Rencana Strategis (Renstra) perguruan tinggi.

Apakah lemhanas atau Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta pihak terkait lainnya pernah menggodok rencana tersebut lalu memasukkannya ke dalam buku putih Kementrian Pertahanan 2015 yang lalu?

Mengacu pada buku setebal 144 halaman yang dapat diakses untuk umum di sini tidak ada kebijakan transformasi keahlian pendidikan secara jelas di sana. Yang ada, "cara" mencapai tujuan srtategis Hankam. Disebutkan salah satunya adalah melalui kerjasama internasional di bidang pertahanan. Salah satu negara terpenting di luar ASEAN adalah Tiongkok.

Mungki kita salah rujukan. Baik kita mengacu pada master plan penyusunan rencana strategis perguruan tinggi. Perhatikan ini. Berdasarkan data yang diperoleh di di sni disebutkan menyusun renstra di perguruan tinggi. Khusus dalam issu Trend Global Perguruan Tinggi dilakukan beberapa penyikapan, yaitu :

  • Masifikasi-- Untuk berhasil di era ekonomi berbasis pengetahuan-- Menuju pendidikan tinggi
  • Globalisasi-- Mobilisasi dosen dan mahasiswa antar negara-- Kompetisi tanpa batas negara
  • Pengaruh teknologi-- Modalitas baru dalam pembelajaran-- Jejaring global

Terlihat hanya sebatas mobilisasi dosen dan mahasiswa. Bukan mendatangkan rektor dari luar negeri.

Siapa sebetulnya paling berkepentingan medatangkan rektor impor. Adakah pihak yang lebih berkepentingan terhadap itu sehingga mengkondisikan sedemikian rupa pada Presiden? Survey dan pengalaman membuktikan segala sesuatu yang dipolitisir tidak akan berjalan sesuai target, sia-sia dan kacau.

JIKA tidak ada dasar hukumnya sebaiknya rencana mendatangkan Rektor impor dialihkan pada peningkatan kualitas Dekan dan Dosen serta tenaga administrasi di perguruan tinggi. Untuk mendapatkan rektor (bukan reaktor-red) memberdayakan tenaga akademik dalam negeri jauh lebih efektif.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun