Ini sebuah fakta. Dalam tahap wawancara tahun 1991, penulis ditawari gaji pokok saja sebesar Rp 2.000.000 (dua juta) oleh sebuah perusahaan properti Filipina di Jakarta. Dalam wawancara itu penulis bernegosiasi minta ditambah ke angka 2,5 juta, tapi tidak disetujui.
Bak kata pepatah berharap hujan dari langit air dalam tempayan ditumpahkan. Merasa masih fresh graduate dan punya harapan dan cita-cita selangit penulis menolak peluang itu.
Perjuangan mencari kerja yang lain pun "berlanjut" dan ternyata makin terus "berlanjut," hingga tapak hak sepatu jadi "obeng.".
Akhirnya penulis melamar di sebuah perusahaan swasta nasional (juga di Jakarta) bidang media informasi dan diterima dengan gaji pokok wow..! Rp. 365.000 sebulan. Ditambah uang makan dan uang transpor (minyak) totalnya tidak sampai 600 ribu sebulan. Jauh dibawah kesempatan di perusahaan pertama.
Pengalaman sebaliknya terjadi ketika penulis menjadi manager di sebuah perusahaan swasta lainnya. Salah satu tugas adalah "merakit" perencanaan yang matang tentang target penjualan, seluruh komponen anggaran biaya, jumlah SDM dan merekrut karyawan di setiap provinsi dan melatih karyawan sesuai bidang masing-masing.
Pada 2014 penulis ditempatkan kembali di provinsi Aceh. Ada sebuah pengalaman yang membuat penulis terkesima saat mewawancarai sejumlah calon karyawan baru tamat kuliah atau setidaknya 2 tahun baru sarjana (S1).
Seingat penulis, gaji pokok saja yang bisa diberikan pada calon karyawan baru (lulusan S-1) adalah Rp 2.500.000 (selain Uang Makan, Transport dan Tunjangan Kesehatan dan bonus). Angka yang penulis tawarkan (atas kebijakan perusahaan) saat itu jauh di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh saat itu (2014) yang ditetapkan pemerintah Rp 1.750.000 per bulan.
Menanggapi angka gaji yang penulis tawarkan saat itu beberapa kalimat yang terlontar dari beberapa calon karyawan fresh graduate adalah sebagai berikut:
- Kecil sekali gajinya
- Pikir-pikir dulu
- Lebih besar kiriman orang tua saya ketika kuliah (tahun terakhir maksudnya)
Tanggapan paling terakhir diatas berasal dari salah satu calon karyawan yang baru setahun lepas kuliah dari sebuah universitas swasta di Yogjakarta kembali ke kampung halamannya di Aceh.
Penasaran, secara terpisah saya tanyakan berapa jumlah kiriman orangtuanya sebulan. Dengan enteng dia menjawab "3 juta-an aja saja pak."
Tentu saja negosiasi tidak dapat dilanjutkan karena SOP Perusahaan telah menetapkan kebijakan dan batasannya seperti itu untuk provinsi Aceh pada saat itu. Akibatnya sejumlah calon karyawan yang membandingkan kiriman orang tuanya dengan gaji yang penulis tawarkan tentu saja merasa tidak cukup, tidak puas dan mungkin saja merasa diremehkan.
Bagi fresh graduate seperti kelompok di atas gaji kecil ibarat meremehkan mereka, maka muncullah salah satu ekspresi menolak perilaku perusahaan yang dianggap meremahkan mereka. Salah satunya adalah kasus yang kini menjadi viral #gaji8juta setelah seseorang mengaku fresh graduate UI melontarkan pernyataan yang bernada super narsis.
Pemilik akun @widaSatyo yang mengaku tamatan UI berkicau "Jadi tadi gue diundang interview kerja perusahaan lokal dan nawarin gaji kisaran 8 juta doang. Hello meskipun gue fresh graduate gue lulusan UI, Pak. Universitas Indonesia.". Benar-benar narsis. Meski ada yang mendukung tapi banyak yang menghujani dengan reaksi olok-olok. Pada umumnya warga net (netizen) mencibir pernyataan tersebut.
Kondisi itu telah memantik reaksi beberapa jebolan (alumnus) Universitas Indonesia (UI) seperti Dian Sastro. Artis kondang ini mengaku ketika pertama sekali bekerja gajinya tidak sampai 8 juta pada tahun 2008 (11 tahun yang lalu).
Dian Sastro menulis di akun twetternya "Dude, jaman lagi susah. Dapet kerjaan aja udah alhamdulillah. People are getting laid off everyday now. Nggak ngaruh lo lulusan dari mana. Gw juga #lulusanui tapi biasa aja kale," seperti dikutip dari TribunNews.
Feni Rose yang juga tamatan UI mengaku gerah dengan pernyataan oknum UI tersebut. Meski juga alumnus UI ia mengaku tidak setengil itu.
Dari sisi calon karyawan sah-sah saja mengharap gaji tinggi dan fasilitas selangit yang pantas mereka terima. Perusahaan tentu tahu diri tentang core bisnis apa yang mereka geluti dan teknologi seperti apa yang mereka terapkan yang menuntut tenaga ahli atau bukan, berpengalaman atau tidak untuk menjalankannya sekaligus menetapkan gaji untuk karyawannya.
Faktanya adalah seorang anak muda, Faqih namanya salah satu anak tetangga penulis, kini telah setahun bekerja pada salah karyawan di kapal pesiar memperoleh gaji 30 juta (dalam rupiah) sebulan padahal ia tamatan sebuah akademi pelayaran swasta di kota Semarang dua tahun lalu.
Seorang lagi anak muda Amar Fadli juga bekerja di kapal Singapore cuma tamatan SMK Maritim di kota Medan, tapi bergaji 17 juta sebulan sebagai salah satu awak kapal niaga.
Jadi tamat universitas apapun tidak lantas membuat seseorang langsung mendapat gaji tinggi karena tergantung pada kemampuan dan kapasitas pelamar.
Namun demikian ekspresi oknum mengaku tamatan UI tadi bisa jadi sebuah fenomena betapa harga tenaga kerja di tanah air memang belum membanggakan dan tidak merata. Giliran @WidaSatyo melihatnya ia pun bereaksi memperlihatkan idealismenya. Sayangnya lebih banyak menuai cibiran daripada dukungan.
Mungkin itulah fenomena nasib harga karyawan, buruh dan pegawai di tanah air ketika bersiap-siap menyongsong"bonus" Demografi 2030 saat generasi milenial mengekspresikan idealisme mereka menurut selera dan gayanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI