Mau mengajari bebek berenang atau agar burung bisa terbang? Tampaknya peribahasa itu TIDAK berlaku untuk PT. Garuda Indonesia Persero Tbk (GIAA), salah satu perusahaan milik negara (BUMN) yang didirkan sejak 1 Agustus 1947 dan mulai berkiprah sejak 26 Januari 1949 sebagai Indonesian Airways.
Dari segi apapun GIAA telah punya segalanya dan terpenuhi semuanya. Dari sisi manajemen, pelatihan, karyawan, kru pesawat, pemeliharaan hingga pimpinan kelas wahid nasional dan peningkatan mutu seluruh dimensi disebut di atas GIAA punya sertifikat dan standard kualifikasi dan klasifikasi bahkan "kaliber" Internasional.
Dengan kondisi seperti itu, mau mengajari Garuda Indonesia? "Wow... tunggu-tunggu dulu kawan," kata pihak manajemen dan sponsor GIAA yang membela Garuda Indonesia. Sedangkan pihak yang mengintip dari luar "melihat" GIAA mirip puluhan sapi perah dalam satu lahan atau kandang yang besar. Diberi makan, dirawat, diperas-peras hingga kering. Jika masih hidup namun tidak ada terlihat seksi dan semangat.
Begitulah dua sisi Garuda Indonesia, padahal pada dimensi lain GIAA bukannya melempem seperti kerupuk kecemplung di dalam air melainkan berusaha tampail, trengginas, gesit, tampil manis, menggoda, seksi dan profesional. Faktanya GIAA banyak memperoleh penghargaan. Segudang prestasi telah diraih Garuda Indonesia antara lain :
- Maskapai terbaik Indonesia (puluhan kali)
- Maskapai paling tepat waktu (OTP) se Asia Pasifik 2018, bahkan pada 2019 dinobatkan sebagai maskapai peringkat pertama dunia katagori OTP mencapai 96,3%
- The World's Best Cabin Crew" pada tahun 2014-2017
- Maskapai Bintang Lima/5 Star Airline", "The World's Top 10 Airline -- Airline Rating", dan "The Most Loved Airline" dari lembaga pemeringkat penerbangan independen berbasis di London Skytrax.
- Masih seabrek pencapaian lainnya yang tidak dapat disebutkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir seperti kisah penyelamatan penumpang oleh Pilot dan kru pesawat dalam beberapa eksiden pesawat Garuda di berbagai tempat.
Bagi GIAA pencapaian beberapa prestasi bidang penerbangan komersil sangat penting karena pengakuan-pengakuan seperti di atas adalah representasi aktualisasi perusahaan (masakapai) itu sendiri boleh jadi sesuatu yang membanggakan.
Akan tetapi aneka pencapaian yang diperoleh GIAA yang tampak cuma indah memukau dari kejauhan. Jika didekati makin terasa jauh bahkan mungkin makin menjauh dan akhirnya sirna, lenyap begitu saja seperti sebuah fatamorgana.
Begitu juga dengan Garuda Indonesia meski dijejali ratusan penghargaan dari masa ke masa tampaknya cuma menghadirkan kebanggaan bagi perusahaan itu sendiri tetapi tidak kepada masyarakat. Masyarakat konsumen dan pemerhatinya menemukan fatamorgana keindahan, kemewahan, prestasi dan profesioanalitas GIAA.
Meskipun tidak pantas dijadikan ukuran general lalu mengajust Garuda tapi laporan perolehan laba demi laba, efisiensi demi efisiensi, investasi demi investasi yang memukau ternyata hanya mentereng di atas kertas menjadi salah satu faktor ukuran di mata masyarakat. Faktanya Garuda Indonesia rugi, rugi, merugi, iklim perusahaan tidak kondusif, struktur organisasi yang gendut melebihi gendutnya tabungan salah satu Direktur utamanya menerima suap dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pengadaan pesawat sejak 2005 -2014
Laporan rugi laba perusahaan itu sering terdengar tidak transparan. Sebut saja yang terakhir pada Juni 2019 adalah temuan akuntan publik betapa amburadulnya laporan keuangan 2018 GIAA yang telah "kenyang" mencapai ratusan penghargaan dunia tersebut. OJK dan Kemenkeu pun akhirnya menjatuhkan denda kepada seluruh pihak komisaris dan direksi serta staf yang telah membuat dan menandatangani laporan tersebut.
Amburadulnya perusahaan "kelas wahid" ini juga sudah tercium pada 2018 ketika Asosiasi Pilot Garuda (APG) mengancam akan melakukan aksi mogok jika manajemen Garuda tidak melakukan perubahan tentang keselamatan kerja para pilot.