Hebat? Tentu tidak. Dilarang juga tidak. Jadi mengapa ada sorotan tajam dan panas tentang rencan poligami di Aceh ditengah maraknya kasus yang sama dimana-mana? Penyebabnya ada tiga hal utama yaitu :
- Meskipun di daerah lain terjadi hal sama (maraknya kawin cerai dan poligami) akan tetapi di daerah lain tidak ada upaya untuk melegalkannya meskipun dengan maksud, tujuan dan alasan sebagus apapun (mulia). Prinsipnya Nikah Yes, Poligami No..!
- Penduduk yang mayoritas beragama muslim sangat banyak di Indonesia, bukan hanya Aceh, akan tetapi Pemerintah dan DPRD nya tidak fokus menerbitkan atau berencana menerbitkan aturan seperti itu. Mereka lebih fokus membahas rencana dan aturan lain yang dinilai lebih bermanfaat misalnya meningkatkan tarif Indek Pembangungan Manusia (IPM) daerahnya.
- Jumlah penduduk Aceh relatif sedikit dibandingkan dengan beberapa provinsi besar. Oleh karenanya jika dibandingkan jumlah perceraian dengan jumlah pernikahan atau jumlah berpoligami dengan pernikahan maka diperoleh rasio yang ekstrim, angka rasionya jadi tinggi. Kesannya kasus kawin cerai dan poligami Aceh "biangnya." padahal itu cuma rasio.
Mengacu pada poin terakhir (nomor 3) di atas, mari kita telusuri seberapa banyak kelompok usia dewasa (siap dan boleh nikah di Aceh). Jumlah penduduk Aceh menurut sumber penulis rangkum dari sumber lain dan BPS 2017 adalah 5,3 juta jiwa per 1 Juli 2019. Jumlah komposisi populasi Aceh berdasarkan usia adalah sebagai berikut :
Dari data tersebut telihat kelompok usia nikah produktif sebanyak (rata-rata 7,2% x 5 kelompok = 45%) dari total populasi sebanyak 5,3 juta jiwa berarti sama dengan 2.392.000 orang (laki dan perempuan). Dari 2,3 juta orang itu ada yang duda, janda, jomblo dan ada yang kawin beberapa kali dan ada yang berpoligami yang TIDAK diketahui prosentasenya beberapa besar jumlah dan rasionya.
Jika berpatokan pada informasi Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Aceh, pada 2015 saja terdapat 40 ribuan pasangan menikah. Dari jumlah tersebut akhirnya terjadi perceraian sebesar 13%. Dengan kata lain 5200 pasangan bercerai. Sumber : pikiranmerdeka.co. Rasio ini sangat besar bahkan menyamai angka rasio perceraian secara nasional. meskipun secara kuantitatif jauh dibawah jumlah kasus nasional.
Kasus kawin cerai (kawin-mawin) di tempat penulis berdomisili sekarang (diluar Provinsi Aceh) juga luar biasa dahsyatnya. Begitu juga ketika penulis menetap di sejumlah provinsi lain antara 3-4 tahun lamanya di setiap provinsi juga menemukan fenomena yang sama. Akan tetapi yang membedakannya adalah TIDAK ADA upaya pemerintah dan Perwakilan Rakyatnya setempat mengurusi urusan -maaf- remeh temeh sebetulnya.
Alasan untuk kemaslahatan ummat Islam, untuk dijauhkan dari bala dan bencana, untuk menghindari fitnah, untuk tidak terjadi kawin siri, untuk tidak berdosa dan untuk melaksanakan ajaran Islam sesuai syariat, tampaknya pemerintah dan anggota dewan di daerah lain yang juga didominasi kaum Muslimin dan Muslimah masih lebih fokus pada persoalan lain, peningkatan IPM dan kualitas SDM misalnya.
Kompasianer, Leya Cattleya, sangat santun tapi "setajam silet" merespon sebuah artikel pringadiasurya. Leya Catelia menyoroti sisi "Keadilan" yang tersimpan dalam rasa. Dalam Poligami "rasa" itu sangat semu sekali. Berikut kutipannya :
Ijin poligami sarat dengan preferensi kebutuhan laki laki. Sekalipun diayur dan diniatkan untuk melindungi perempuan, prakteknya akan sangat kompleks. Perspektif dan pandangan perempuan kurang jadi peryimbangan. Satu hal dari pernikahan, yaitu soal "rasa" tak mungkin bisa diatur, sementara banyak aspek keadilan ada di "rasa" itu. Apa artinya bicara cinta ketika itu di mulut saja.
Dengan banyaknya pertimbangan dan masukan semoga dapat memberi "inspirasi" pada pemda Aceh, perwakilan rakyat serta sekelompok orang yang sedang berpreferensi pada terbitnya Qanun tersebut. Apalagi jika mengacu pada pernyataan keras Fachrul di atas bahwa "orang Aceh bukan cuma tahu kawin mawin" maka sepantasnya meninjau kembali rencana tersebut.
Masih banyak sisi bermasalahat dan bermanfaat lainnya yang dapat dilakukan untuk rakyat Aceh termasuk skala prioritas mengurangi jumlah orang miskin yang kini justru semakin meningkat.