Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Cara Barat Pisahkan Rusia dari Iran

26 Juni 2019   10:27 Diperbarui: 27 Juni 2019   05:28 1925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dailystar.co.uk edisi 09 Mei 2018

Kita tentu semua sudah tahu apa penyebab sesungguhnya maupun penyebab yang yang direkayasa perang Suriah. Sekadar mengulang, mengingatkan atau menyegarkan kembali, berikut beberapa sebab-sebab terjadinya perang Suriah (selebihnya bisa Anda tambahkan sendiri):

  • Gelombang protes rangkaian peristiwa "The Arab Springs" yang melanda sejumlah negara timur tengah terhadap pemerintahan Bashar al-Assad yang dituduh tiran, diktator dan korup dan lain-lain
  • Rebutan jalur dan cadangan minyak Suriah yang dapat menghubungkan saluran pipa minyak dari negara-negara teluk ke laut Medeterania antara Barat dan negara Arab dengan Rusia- Iran
  • Agenda khusus AS menguasai Suriah utara hingga Deir Ezzour yang kaya dengan cadangan minyak. Atas nama koalisi internasional AS membentuk  dan memperkuat milisi Kurdi Suriah, Syrian Democratic Force (SDF)
  • Agenda khusus Turki di utara Suriah hingga Idlib untuk sebuah kawasan baru yang nantinya akan dijadikan negara baru (pro Turki) terpisah dari induknya (Suriah). Agenda khusus itu tampaknya juga menyasar hingga ke Deir Ezzour tempat 12 ladang minyak Suriah menghasilkan minyak mentah mencapai 385,000 barrels (61,200 m3)  setiap hari (sebelum pecah perang Suriah).
  • Sikap terang-terangan Suriah pro Rusia sekaligus mempertahankan eksistensi armada laut Rusia di pelabuhan Tarsus dianggap mampu merusak stabilitas keamanan di timur tengah
  • Kehadiran Iran di Suriah dianggap sebagai salah satu sumber masalah terbatas baik di Suriah maupun kawasan regional oleh Israel, Arab Saudi dan negara teluk lainnya seperti UEA dan Qatar. Dalam proses memperkuat posisi regim Assad selain menambah bala bantuan pasukan dan milisi Iran juga mengirim perlatan tempur dan intelijen secara massif. Beberapa peralatan tempur Iran dilihat Israel sebagai "momok" yang dianggap mampu mengancam wilayahnya.

Terkait dengan sebab terakhir disebutkan di atas yaitu Iran sebagai salah satu sumber masalah terbesar dalam perang Suriah mari kita simak sejauh apa peranan Iran dalam perang Suriah dan apa upaya barat melumpuhkan Iran.

Sejak terlibat secara resmi pada 6 Juni 2013 atau 2 tahun lebih setelah pemberontak hampir meluluhlantakkan dan menamatkan riwayat pemerintahan Bashar al-Assad saat itulah Iran mulai terlibat secara totalitas di berbagai bidang mendukung pemerintahan Assad.

Iran menyokong tanpa tawar menawar dengan mengirimkan pasukan dan intelijen untuk memperkuat posisi Assad. Iran memperkuat militer Assad dengan mengirimkan pasukan Islamic Revolutionary Guards Corps (IGRC), Pasukan Angkatan Darat, milisi Qud Force, milisi Hezbollah, milisi Liwa Fatemiyoun, milisi Liwa Zaenebiyoun dan tentu saja secara finansial dan pelatihan bahkan ditambah dengan pasukan penegak hukum seperti polisi.

Praktis terjadi perubahan di medan pertempuran. Kegigihan dan tangguhnya perlawanan pasukan dan milisi Iran membantu pasukan Suriah (SAA) dibantu serangan udara Rusia mulai memperlihatkan kemajuan demi kemajuan. 

Di seluruh front pertempuran dekat ibu kota Damaskus SAA berhasil mengambil alih kembali kawasan demi kawasan dari yang terdekat yaitu Jobar, Duma, terus lebih jauh ke Daraa, Quneitra, Hama, Palmyra hingga Deir Ezzur bahkan ke dekat perbatasan Irak, Albukamal.

Perlawanan ISIS secara de facto berhasil dimusnahkan sedangkan perlawanan kelompok pemberontak dalam payung FSA (kini hanya sebuah simbol perlawanan) sedikit demi sedikit mengalami kemajuan meski kini masih menjadi sandungan di kawasan Idlib dan Hama bagian utara.

Semua lawan gerah melihat "tingkah laku" Iran yang secara geografis telah "berhasil" menghubungkan kawasan Hezbollah di Lebanon selatan menuju ke Deir Ezzour terus ke Albukamal hingga masuk ke Irak yang pemerintahannya dikuasai oleh kelompok Syiah.

Israel geram tiada tara, gemertak giginya seakan terdengar ke seluruh timur tengah. Dengan dalih Iran adalah ancaman bagi Israel dan Yahudi negara tersebut telah menyerang lebih 200-an kali ke dalam wilayah Suriah (sejak 2013) menyasar berbagai fasilitas militer milik Iran (terutama) dan Suriah. 

Israel tidak memperdulikan betapa dilematisnya Rusia bahkan Israel mempertontonkan pada Rusia cara menggebuk Iran di depan benda-benda antik milik Rusia yaitu S300, S400 bahkan S-700 sebagaimana pernah disindir oleh Avigdor Liberman, Menteri Pertahanan Israel beberapa waktu lalu.

Nyaris tidak ada balasan berarti dari Iran kecuali sebuah F-16 Israel ditembak jatuh pada Nopember 2018 lalu, bukannya bikin Israel khawatir malah semakin membuncah nafsunya hingga ke ubun-ubun serasa ingin melumat Iran hidup-hidup. 

Dalam kondisi demikian Rusia hanya bisa mengomel di belakang layar bahkan saat Israel memperdayai sebuah kapal patroli maritim Rusia dekat pelabuhan Latakia menyebabkan pertahanan udara SAA justru menembak pesawat maritim Rusia tersebut membuat Israel "terpingkal-pingkal" dengan pongah mengatakan betapa bodohnya sistem pertahanan Suriah.

Isu keretakan hubungan Iran - Rusia berkali-kali muncul ke permukaan menghiasai laman portal berita barat tentang terjadinya protes kecil Iran terhadap sikap ambivalen Rusia. Selain itu di medan pertempuran Suriah disebutkan sering terjadi clash atau pertempuran sporadis kelompok milisi dukungan Iran dan kelompok pasukan SAA dukungan Rusia.

Upaya melemahkan Suriah dilakukan dengan berbagai cara termasuk menggagalkan pasokan minyak untuk Iran dan Suriah dari kawasan Deir Ezzour yang dikuasai oleh SDF (kelompok bersenjata Kurdi dukungan AS atas nama International coalition). Pasokan minyak ke kawasan yang dikuasai SAA atau Iran dilarang oleh AS dan dituduh penyelundupan dengan alasan sanksi ekonomi. 

Dalam beberapa kasus AS memperliat aksi penembakan dan mengenggelamkan boat dan perahu tempel pengangkut minyak ke kawasan SAA (Iran) di sepanjang sungai Eufrat.

Di sisi lain AS menerapkan sanksi baru pada Iran sekaligus menganulir perjanjian proliferasi Nuklir yang disepakati dengan AS pada masa Obama dengan alasan telah berbohong terkait perjanjian tersebut. 

Dengan demikian sanksi baru pun kembali menghujam Iran sejak AS (Trump) mulai membatalkan perjanjian pada 5 Mei 2018. Dampaknya termasuk melakukan sabotase terhadap kapal tanker yang menyuplai minyak ke luar negeri (dari Iran) terutama ke Suriah.

Sabotase penghancuran kapal tanker mulai terjadi di kawasan teluk Persia. Dua tanker menumpahkan minyak mentah ke laut akibat diserang lambungnya di teluk Oman pada 13 Juni 2019 dan disusul 4 tanker lainnya di selat Hormuz pada 14 - 23 Juni 2019 lalu. Seluruh peristiwa itu dituduh pada Iran oleh AS dan barat, padahal Iran hanya mengakui menjatuhkan sebuah drone AS di atas ruang udaranya.

Pada Juni 2019 terjadi  sabotase terhadap 5 jalur pipa minyak bawah laut di pantai Banias pada 23 Juni 2019 lalu. Ini adalah peristiwa pertama terjadi sejak meletusnya perang Suriah sejak 11 Maret 2011  delapan tahun lalu. Tujuannya jelas melumpuhkan pasokan (impor) minyak dari kapal-kapal Iran ke daratan Suriah.

Saat AS melampiaskan dendam kesumatnya pada Iran dan ketika Israel meremehkan sistem pertahanan udara Iran atau Suriah di sisi lain Turki semakin terbuka mempertontonkan agenda tersendirinya yakni memperkuat kelompok perlawanan bersenjata kelompok Tahrir al Sham (HTS) dan milisi lainnya dukungan Turki. (padahal kelompok HTS ini telah ditetapkan barat sebagai organisasi teroris). 

Setelah merasa diserang oleh SAA pada sebuah pos pemantaunya di dekat Hama sebulan lalu kini Turki memasok tentara dan peralatan tempur lebih massif ke seluruh pos pemantaunya dan siap menggebrak SAA pada waktu yang tepat. Jika ini terjadi maka akan terjadi clash terbuka antara Turki dan Iran sekaligus Rusia di dalam wilayah Suriah.

Demikian profil Iran dalam kancah perang Suriah mirip seseorang yang berteman akrab dengan kepala preman tapi sang preman tidak bisa berbuat apa-apa melihat temannya itu dikeroyok orang lain dengan alasan orang lain adalah temannya juga.

Meski demikian bagi Rusia posisi Iran sangatlah berarti. Iran telah memperlihatkan secara totalitas membantu dan membela Suriah dan mendukung Rusia dalam mempertahankan pemerintahan Bashar al-Assad. Iran tidak berbasa-basi membuktikannya, bahkan ribuan petempurnya telah meregang nyawa untuk mempertahankan pemerintahan dan negara Suriah dari kehancuran.

Pada 25 Juni 2019, pertemuan tiga negara (Trilateral) dilaksanakan di Israel dihadiri oleh John Bolton Menlu AS dan utusan khusus keamanan nasional Rusia di Jerussalem membicarakan dua masalah utama yaitu penyelesaian masalah Suriah dan tensi ketegangan dengan Iran. 

Meskipun pertemuan itu unutk membicarakan issu Suriah akan tetapi tampaknya adalah sebuah pesan Israel dan AS tentang persiapan akhir mereka (atas nama koalisi internasional) menggebuk Iran lebih terbuka di Suriah dan mungkin jauh ke dalam negara Iran sendiri. 

Dalam pertemuan itu PM Israel Benyamin Netanyahu mengatakan Israel memberi jaminan tidak akan menyerang posisi Rusia di Suriah, sebuah tanda amat jelas bahwa waktunya telah tiba untuk fight dengan Iran.

Jika itu terjadi dapat dipastikan betapa murkanya Iran pada Rusia. Iran jelas sangat kecewa dan mungkin akan secara terpisah bekerjasama dengan Rusia dalam membantu Suriah atau mungkin akan mengambil sikap "lengser" dari kancah Suriah.

Jika sikap Iran itu terjadi maka beban yang ditanggung Suriah jelas akan semakin berat, berat dan bisa jadi akan berbalik arah menjadi melemah. Dan jika itu itu dihadapi Rusia sendiri jelas bikin Rusia terasa berat menanggung bebannya. Dan untuk menggebuk Iran di hadapannya secara terbuka kali ini tampaknya Rusia tidak akan membiarkannya.

Begitulah sengkarutnya perang Suriah akibat banyaknya pihak yang memanfaatkan peluang di balik semangat Arab Springs pada 11 Maret 2011 lalu hingga aliansi Iran - Rusia pun diuji dalam eskalasi baru yakni perseteruan klasik Israel -AS melawan Iran yang belum jelas kapan akan pecah secara pasti.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun