Apa yang terlihat oleh kita adalah semangat mengakhiri Ramadahan dan persiapan menyambut hari Raya Idul Fitri dimana-mana. Kemanapun kita pergi terlihat orang semakin berdesakan di tempat perbelanjaan mulai bahan pakaian, kue, makanan hingga perawatan kendaraan. Tujuannya antara lain adalah agar dapat menikmati hari-hari terakhir Ramadhan dan memenuhi kebutuhan Idul Fitri bersama keluarga dengan riang gembira.
Itulah gambaran paling umum terlihat kita hampir dimana-mana dari desa hingga kota. Fenomena itu terjadi massif, sekali menenggelamkan kisah pilu nan nestapa sekelompok keluarga lainnya yang tidak atau belum menikmati Ramadhan dan Lebaran seperti Anda alami.
Mereka kini mungkin disebut pengangguran akibat telah kehilangan pekerjaan sekian lama entah 2 tahun , 3 thun bahkan mungkin ada yang lebih. Jangankan untuk menikmati lebaran, menikmati hari-hari demi hari selama bulan Ramadhan pun tampak kepayahan guna memenuhi kebutuhan hidangan berbuka puasa hingga sahur.
Mereka jelas bukan pengemis dan gelandangan. Mereka bukanlah tunawisma atau kelompok orang yang bergerombol mengharap belas kasihan orang di jalan, di tempat keramaian atau di tempat ibadah. Mereka ini telah mengambil sikap menjadi peminta-minta dan pengemis sebagai profesi dan tunawisma karena alasan lain meskipun ada juga diantara mereka yang murni menjadi pengemis dan gelandangan atau tunawisma.
Mereka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah :
- Keluarga miskin yang sedang mengalami kesusahan tulang punggung keluarga menderita sakit sudah lama sehingga tabungan habis terkuras
- Keluarga yang telah kehilangan pekerjaan sangat lama dan belum menemukan pekerjaan yang sepadan untuk mencukupi kebuthan kelaurga
- Keluarga yang bangkrut usahanya sejak beberapa tahun terkahir hingga yang tertinggal adalah cuma rumah
- Sopir truk yang kehilangan pekerjaan hingga jelang lebaran
- Buruh harian atau buruh pabrik yang bekerja di bawah upah minimum
- Keluarga yang tidak memiliki uang tabungan dan perhiasan lagi
- Sopir ojek online atau taksi online yang semata-mata hidupnya bergantung dari profesi ini
- Tukang beca dan bajaj yang hidup dan penghasilannya murni tergantung dari sini
- Pensiunan yang hidup cuma dari gaji pensiun
- Pengemis dan gelandangan atau tunawisma murni
Bagi yang masih memiliki rumah tentu masih beruntung sedikit, tapi menjual rumah bukanlah pilihan favorite karena tanpa rumah bisa jadi mereka akan masuk tahap "tunawisma elit" karena masih berharap tinggal di tempat keluarga. Lalu jika timbul masalah dengan keluarga dan terpaksa pindah kemanakah akan dituju untuk menginap? Ke masjid tidak mungkin, ke tanah lapang apa lagi. Itu artinya fase "tunawisma sejati" telah didepan mata.
Fokus kita adalah keluarga-keluarga seperti di atas yang tidak mau meminta-meminta, mengemis apalagi berhutang sana-sini untuk menutupi kebohongan fakta dalam hidup. Mereka tetap berusaha namun apa daya nasib belum atau tidak mujur, modal habis, mau buka usaha apa lagi yang hanya memerlukan pengorbanan dengkul dan daun-daunan (katanya). Atau pekerjaan yang ada belum menjanjikan.
Untuk kebutuhan hari raya mereka tsudah pasrah. Tidak ada aroma masakan daging rendang atau ayam gulai dan ketupat atau lontong kali ini. Tidak berani mendekat ke mal atau supermarket untuk melirikt aneka pakaian dan perlengkapan hari raya yang sudah lama tersimpan di dalam hati.
Bagi kedua orang tua mungkin masih bisa menahan kesedihan, tapi paling berat adalah melihat anak-anak mereka yang kurang semangat dan bahagia menjelang lebaran meskipun mereka telah mulai paham kondisi yang terjadi. Tapi namanya anak-anak masih kurang matang tentu ada-ada saja keinginan yang diharap pada ibu bapaknya tapi tidak kesampaian.
Anak gadisnya cuma bisa duduk dalam pelukan ibunya berhitung hari demi hari hingga (jika beruntung) dilamar orang yang mandiri dan bertanggung jawab jika sudah tamat SMA nanti.
Anak laki-laki yang masih belum remaja misalanya, mondar-mandir rumah - tempat kawannya hingga pulang kembali ke rumah karena mengantuk atau lapar denagn makanan seadanya. Kondisi ini telah terjadi sejak 3 tahun terakhir hingga ia kini hampir tamat SLTP dengan catatan tidak pernah bayar uang apapun di sekolah karena tidak bisa ikut kegiatan yang memerlukan uang.