Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rusia Dituding "Biang Kerok" Perang Siber Dimana-mana, Apa Sikap Kita?

23 Desember 2017   18:39 Diperbarui: 28 Desember 2017   08:18 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan Cyber Rusia (kiri), AS (CIA tengah) dan Rusia (kanan). Sumber : http://foreignpolicy.com, founderscode.com dan http://yournewswire.com

Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris Borris Johnson dalam pertemuan khusus dan terbuka dengan Menlu Rusia, Sergei Lavrov  kemarin 23/12/2017) dalam kunjungan spesial ke Moskow meminta klarifikasi Rusia secara langsung atas tuduhan telah mengintervensi pemilihan umum (Referendum) keluarnya Inggris dari masyarakat ekonomi Uni Eropa (UE). Referendum yang telah dilaksanakan pada 23 Juni 2016 lalu menghasilkan 72,2% suara pemilih setuju Inggris keluar dari UE.

Lebih dari satu setengah tahun peristiwa Referendum itu telah berlalu namun baru kemarin (22/12/2017) Menlu Johnson dan rombongan bertemu dengan counterpartnya Lavrov meminta klarifikasi langsung guna mengakhiri kebuntuan issue tentang peranan Rusia mempengaruhi hasil akhir suara referendum sebagaimana disebutkan di atas melalui serangan Cyberwarfare (perang siber).

Mudah ditebak, bukan bangga atau jumawa, Lavrov malah menolak tudingan tersebut dengan sangat diplomatis. Lavrov menjawab Inggris telah "tersandera" oleh opini komunitas baratnya sehingga sulit sekali untuk keluar melihat fakta sesungguhnya. Tanpa memberikan statemen yang jelas bahwa pemerintah atau intelijen pertahanan Rusia telah atau tidak campur tangan dalam masalah tersebut. Sumber : The Telegraph

Tudingan terhadap intelijen pertahanan Rusia memainkan perang siber bukan sekali ini saja terjadi. Dalam pemilu presiden AS 2016 Rusia juga dituding memainkan perang siber guna mempengaruhi hasil akhir Pemilu sesuai kepentingan Rusia yakni Donald Trump menjadi pemenang. Dengan metoda menyerang lalu mengubah dan menghapus data registrasi pemilih (voter regsitration system) dalam database komputer milik partai Demokrat Democratic National Committee (DNC) di 21 dari 50 negara bagian. Intervensi Rusia itu dituding menjadi sebab kegagalan Hillary Clinton sekaligus memupus asa "pemecahkan rekor" sejarah baru AS dipimpin pertama sekali oleh seorang wanita bahkan oleh seorang mantan ibu negara.

Persoalan yang kini telah membuat kegaduhan dalam politikl dalam negeri AS itu disebut sebagai aib Trump telah menyeret sejumlah nama besar seperti Michael Flynn, Jared Kushner dan mantan Dirut FBI, James Comey, Mike Rogers dan lain-lain membuat posisi Trump terasa sangat dilematis.

Sejumlah lembaga berwenang AS telah menyampikan secara resmi bukti dan keterlibatan Rusia dalam kasus Pilpres AS dalam joint statement setahun lalu pada 2 Desember 2016 bahwa Rusia terlibat dalam mempengaruhi Pilpres AS seperti dilontarkan oleh James Clapper, mantan Dirut FBI kepada CNN beberapa waktu lalu.

Terhadap tudingan ini Rusia bergeming, tidak mengakui hal tersebut. Upaya curi-mencuri data pejabat kerap terjadi dimana-mana. Bahkan upaya  menembus email, komputer Presiden Putin bisa terjadi 8 hingga 10 kali dalam sehari, "Akan tetapi kami tidak menuding Gedung Putih telah melakukannya," ujar salah satu juru bicara Putin menanggapi tudingan AS tersebut. Sementara itu Sergei Ryabkov, Deputi Menlu Rusia, menanggapi enteng tudingan AS terhadap negaranya, tidak lain adalah sebuah trik kotor pemerintahan AS saat ini. (The Guardian).

Tudingan lain terhadap Rusia menjalan serangan siber juga terjadi di Georgia terahdap sebauh perusahaan AS, The US. Cyber Consequences Unit (US-CCU) pada 2008 dalam upaya membantu Georgia dalam perang Ossetia.

Selain itu tudingan sama datang dari Jerman. Pihak intelijen Jerman menemukan upaya Hecker Rusia mempengaruhi pemilihan Umum Parlemen Jerman. Bruno Kahil direktur BND (Bundesnachrichtendienst) atau The Federal Intelligence Service (CIA-nya Jerman) telah memperingatkan hal itu pada Desember 2016. Kemudian pada 21 September 2017 atau 3 hari sebelum hari Pemilu parlemen Jerman dilaksanakan, portal berita AS, NYT dalam beritanya (saat itu) memberitakan ada indikasi Rusia akan terlibat dalam hal tersebut.

Daftar korban serangan siber Rusia juga terjadi dalam pilpres Ukraina 2014. Intelijen Rusia dituduh menyerang komputer Komisi Pemilu Pusat Ukraina. Selain itu juga telahmembocorkan sejumlah email pejabat kepada umum dan berusaha mengubah hasil pemilu dan menunda pengumuman hasil pemilu. Tak perlu menerka tanggapan Rusia menanggapi hal tersebut jika dikaitkan dengan posisi Ukraina dalam perang di Donbass yang pecah sejak 6 April 2014.

Apa dibalik motif menuding Rusia (disamping Korea Utara) sebagai pelaku serangan siber paling berbahaya saat ini harus dicermati dengan bijaksana mengingat pihak Rusia berkali-kali menolak tudingan tersebut. Meski penolakan itu pun tidak dapat dijamin benar namun penolakan resmi adalah hak sebuah negara dan patut untuk didengar meskipun belum tentu dapat dipercaya, apalagi ternyata aksi Siber tersebut membuat kerugian bagi kelompok, organisasi atau negara lain.

Salah satu negara lain yang patut menyikapinya adalah negara kita, Indonesia. Kita tidak dapat menutup mata bahwa perang masa depan ditentukan oleh kemampuan menerapkan aplikasi teknologi salah satu terpenting di dalam aplikasi teknologi itu adalah komputer termasuk perang Siber (Cyber War) yang notabene mutlak menggunakan jaringan, komputer dan internet.

Sebagaimana diketahui Cyberwar atau Perang Siber adalah model perang masa depan dan model ini menjadi domain atau matra ke empat perang setelah Darat, Laut, Udara (angkasa) dan ke empat adalah Cyber. 

Peristiwa penyelamatan salah satu pilot Su-24 Rusia yang ditembak jatuh di pegunungan Latakia oleh F-16 Turki pada 2016 lalu membuktikan bagaimana Rusia mengerahkan pasukan cybernya untuk mengacak dan mengacaukan informasi dan satelit lawan (Turki, AS, Israel, Arab Saudi) sehingga pasukan khusus Iran Garda Revolusi Syi'ah Iran (IRGC)pimpinan Jenderal Qassem Sulaemani,  mampu menjangkau lokasi lebih dahulu daripada Turki dan misi FSA atau ISIS dan Al-Nusra pada saat itu dan membawa dengan selamat copilot ke kawasan aman.

Melihat pada semakin kompleksnya pemakaian teknologi dalam arsenal perang yang diterjadi pada berbagai medan perang di Perang Teluk 1 dan 2, Perang Irak, Perang Afghanistan, Perang Suriah, Perang terhadap ISIS dan Kesiagaan Israel dalam konflik di timur tengah memberi pesan kepada kita sudah tiba saatnya menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang  mumpuni dan familiar dengan teknologi tinggi untuk mengoperasikan peralatan tempur di masa kini dan akan datang.

Jumlah pasukan yang besar, jumlah wajib militer berlimpah dan pasukan cadangan serta milisi yang membludak tidak akan menjamin pertahanan negara aman dari serangan musuh. Musuh cukup menekan tombol dari jarak puluhan atau ratusan kilometer bahkan mungkin 1000 km untuk menghancurkan pertahanan serta membuat kecut warga (seperti diteror). 

Perang gerilya pun hanya mampu menelan korban besar jika persiapan cyberwar disebutkan diatas tidak disiapkan dari sekarang. Maka solusi yang perlu disiapkan atau kita sikapi dari saat ini adalah :

  • Menyiapkan anggaran atau budget memadai dan menggunakan anggaran sepenuhnya untuk pembelian senjata
  • Merekrut pasukan Cyber yang nantinya dibagi menjadi unit Cyberwar, Cybercrime, Cybersecurity, Ciberterrorism, Cyberattack dalam satu matra atau sebut saja satu Bataliyon Cyberwarfare (700 - 1000 personil seluruh Indonesia).
  • Tidak memaksa pasukan yang ada di matra lain dipindahkan ke bagian khusus ini dengan alasan efisien atau alasan non teknis, karena dalam program Minimum Essensial Force (MEF) yang dibagi ke dalam 3 tahap Renstra (Rencana Strategis) dari tahun 2009 hingga 2024 telah disebutkan kerangka dasar membentuk postur TNI yang efisien namun efktif melalui peningkatan kualitas SDM yang mampu menggunakan teknologi tinggi (peningkatan kualitas SDM berbasis kompetensi). Jadi pemindahan dan penempatan pasukan tidak pada bidang atau keahliannya dikuatirkan melanggar MEF dan tentu saja tidak sigap menyikapi potensi Cyberwarfare di masa akan datang.
  • Pejabat dan pasukan TNI tidak disibukkan oleh bisnis apalagi hanyut oleh godaan kemewahan dunia dari hasil Korupsi, gratifikasi atau melindungi kegiatan bisnis mafia kriminal. Sepantasnya pejabat dan pasukan TNI mempertajam kualitas dibidang masing-masing dan menciptakan inovasi atau terobosan dalam industri dunia militer dan persenjataan. Pejabat dan pasukan TNI justru akan semakin makmur dilibatkan dalam industri kedirgantaraan sesuai dengan matra dan bidang masing-masing.
  • DPR, Kemenkeu dan badan terkait dengan ekonomi dan keuangan negara harus bersinergi membantu dan memfasilitasi TNI agar mumpuni menjalankan perang siber dimasa kini dan akan datang termasuk meningkatkan kualitas SDM TNI dibidang masing-masing. Meski kita TIDAK meragukan kualitas TNI secara umum namun lembaga terkait sebagaimana disebutkan diatas jangan seperti kodok dibawah tempurung mengira perlengkapan dan kualitas SDM TNI dalam menyikapi perang siber sudah mumpuni. Lebih ironis lagi jika lembaga terkait membiarkan TNI tertatih-tatihmenjalankan renstranya setiap tahap akibat hanyut dengan iming-iming komisi yang didapatkan dengan memperbesar anggaran di lembaga lain, sebut saja untuk Kemndagri urusan KTP elelektronik saja mendapat anggaran berlimpah ruah yang ternyata dikorupsi oleh Setya Novanto "and the geng" mencapai hampir 50% dari budget KTP-El Rp 5,9 triliun.
  • Pasukan Cyber harus dilatih agar profesional. Tidak amatiran apalagi gegabah mendeteksi potensi pelaku serangan cyber baik hacker, hijacker atau teroris.
  • Untuk menangani kasus-kasus terkait Cybercrime dan Cyberterrorisme harus kerjasama dan koordinasi dengan pihak POLRI

Ada beberapa istilah lain dalam Cyber War (Perang Siber) yaitu Cyberwarfare, Cybercrime, Cyberattack dan Cyberterrorism. Sepintas semuanya hampir sama karena menggnunakan teknologi informasi dan jaringan internet melalui komputer dari berskala rendah (low-level information warfare) sampai pada sasaran yang berskala tinggi untuk menciptakan kerugian besar atau kehancuran dahsyat di pihak lawan. Namun dalam implementasi ternyata hampir berbeda.

Apa perbedaannya, tentu rekan pembaca budiman telah memahami tentang hal itu bukan?

Apapun pengertian dan perbedaannya potensi masalahnya adalah sama, yakni ancaman perang siber dimasa akan datang tidak dapat dianggap enteng, dan itu menuntut persiapan SDM berkualitas dan alat persenjataan teknologi tinggi dan tentu saja anggaran yang cukup dan orang-orang yang tepat disamping anggaran itu sendiri.

Salam Kompasiana

abanggeutany0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun