Jika diperlukan kapasitas lebih besar tentu tinggal mencari solosi pada tiga komponen pendukung utama PLMTH, yakni : Air, Turbin dan Generator yang lebih besar, kuat dan berkualitas namun tetap efisien dan tentu saja harus ramah lingkungan.
Masih mahalkah tarif Rp 1.000 per KWH? Mungkin saja masih ada merasa mahal bahkan masih ada yang menilai seharusnya gratis saja sekalian, "biar adil dan sejahtera," hehehehehee...
Tapi tunggu dulu, bandingkan saja lebih dahulu dengan harga atau tarif resmi PLN per Mei 2016 pada daftar harga di bawah ini, masih mahalkah tarif listrik made in Galus? Lalu, simak saja tarif dasar lisrtik di beberapa negara berikut. Di luar kaitannya dengan faktor pendapatan per kapita rata-rata, tarif listrik Indonesia masih jauh lebih murah dibanding negara lain meskIpun ternyata masih ada lebih murah lagi yaitu tarif listrik Galus.
Tentu saja beda kelas alias tak pantas membandingkan listrik buatan Galus dengan buatan PLN terutama dari sisi modal invenstasi, biaya perawatan, kapasitas, pelayanan, jumlah SDM dan tingkat keamanannya.
Tujuan pebandingan ini setidaknya untuk menyampaikan pesan sekaligus memotivasi, mengapa PLMTH tidak dikembangkan lebih serius di setiap kabupaten atau Propinsi saja untuk memenuhi kapasitas standard kebutuhan daerahnya saja. Tak penting menghadirkan mesin bemodal puluhanan miliar rentan lahan empuk untuk tikus-tikus koruptor. Apalagi tenyata mesinnya bekas pakai, KW 3 lagi, buatan negara jagoan produksi barang palsu. Tak terhitung tingkat kerugian negara untuk gaya-gayaan seperti itu rasanya.
Jadi akan sangat Ironis jika pembangkit listrik seperti di Galus ini kurang diminati untuk ditingkatkan kapasitas dan kemampuannya oleh PLN. Padahal kabupaten Galus selain telah membuktikan dapat mengatasi masalah listrik -meski dalam ruang lebih sempit dan kapasitas sangat kecil- juga telah mencetak rekor penghasil listrik dengan tarif termurah sedunia.
Tertarikkah Anda dengan Gayo Lues? Siapa tahu berminat, silahkan berkunjung ke sana, banyak kekayaan belum dioptimalkan dari dalam bumi Negeri Seribu Bukit, milik kita,, sebelum dicuri kapitalis dari "sana," hehehehheehe.......
Salam Kompasiana
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H