Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Money

Singkil Belajar Singkirkan Intoleransi Beragama

18 Oktober 2015   00:57 Diperbarui: 8 Juli 2019   13:23 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hati siapa yang tak gundah melihat tempat (rumah) ibadahnya terbakar atau dibakar, bukan? Sama halnya ketika umat muslim teriris hatinya saat terjadi peristiwa pembakaran sebuah masjid hingga menimbulkan beberapa korban jiwa di Tolikara, Papua Barat beberapa waktu lalu, begitu juga ummat Nasrani teriris rasanya melihat rumah ibadahnya terbakar di Singkil.

Emosi bercampur aduk dengan tanda tanya mendalam. Gelora panas berkecamuk, bergemuruh tiada hentinya bikin marah rasanya. Logika berpikir tersapu oleh aneka informasi, tulisan dan berita yang memperkeruh suasana apalagi bernuansa mengompori keadaan dengan harapan terjadinya kekacuan intoleransi ummat beragama di  tanah air.

Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, provinsi Aceh pada 13 Oktober 2015 lalu. Tidak disangka dan diduga ternyata persoalan menahun berdirinya TANPA IZIN rumah atau tempat beribadat ummat Kristen di 10 lokasi di Aceh Singkil yang telah mencapai titik temu persetujuan warga nasrani dengan pemerintah setempat sehari sebelumnya ternyata berujung pada tindakan makar .

Sebagaimana kita ketahui bersama, akibat peristiwa itu berbagai informasi dan tulisan menuding aksi intoleransi itu sebagai tindakan biadab dan tentu saja mencoba menggoyang kesatuan negara Republik Indonesia melalu cara-cara adu domba umat beragama.

Setelah penulis amati dengan seksama, persoalan inteloransi ummat beragama di Aceh berbeda motif dengan peristiwa intoleransi di berbagai tempat di tanah air. Peristiwa di Aceh Singkil meski sama dampaknya (trauma, ketakutan, perpecahan dan permusuhan) namun motifnya adalah motif antisosial yang ditunggangi provokator, kongkritnya adalah reaksi sosial masyarakat setempat yang dimanfaatkan oleh provokator. Alasannya adalah :

  • Sehari sebelum peristiwa anarkis tersebut, Bupati Aceh Selatan dan pihak yang terkait telah melakukan pertemuan yang kesekian kalinya mencari solusi dan jalan keluar yang terbaik. Pada pertemuan terakhir -menurut informasi harian lokal- telah ditemukan kesepakatan berupa solusi yakni persetujuan warga Kristen dan pengurus rumah ibadah yang tidak mendapat izin bahwa mereka bersedia memindahkan dan membongkar rumah ibadahnya sendiri.. Padahal selama beberapa tahun terakhir pemda setempat telah diingatkan bahwa tempat tersebut bukan sebagai tempat ibadah yang tepat karena berbagai alasan.
  • Janji memindahkan rumah ibadah tersebut keesokan harinya (13/10) ternyata duluan didatangi oleh sejumlah warga bersenjatakan bambu runcing hingga menyerang dua dari sepuluh lokasi rumah ibadat yang disebut untuk dibongkar sendiri oleh warga penganutnya sehingga satu gereja terbakar.
  • Masalah yang terjadi di Singkil BUKAN masalah agama dalam pandangan warga Aceh pada umumnya. Sebab, warga Aceh pada umumnya mampu bergerak serentak kemanapun dan di manapun JIKA masalahnya adalah masalah politik dan agama.
  • Beberapa tulisan warga di beberapa media lokal menyajikan pandangan penyesalan dan tanggapan mengkritik pelaku makar yang mencoba membuat Aceh bergolak menunggangi issue agama.
  • Issue hangat tentang akan adanya serangan balik dari dari kelompok nasrani dari Sumatera Utara jelas dan murni tindakan paling disenangi provakator untuk membuat sebagian warga cemas sehingga ada yang melarikan diri ke Sumut sementara yang tertinggal mempersiapkan dirinya seadanya. Ternyata, warga yang tertinggal dengan persiapan seadanya TIDAK terjadi apa-apa pada mereka.
  • Dua hari setelah peristiwa tersebut atau pada 15/10/2015 sejumlah warga yang minggat ke Sumut kembali lagi ke Aceh Singkil dan tidak terjadi apa-apa pada tumah dan perkebunan atau tempat usaha yang mereka tinggalkan.
  • Ironisnya hasil pengamatan intelijen, yang mengungsi justru warga yang jauh (lebih 1 jam perjalanan) dari lokasi tempat kebakaran Gereja, sementara warga yang tinggal sekitar Gereja terbakar TIDAK mengungsi, sebagaimana diungkapkan Pandam Iskandar Muda, Mayjen Agus Kriswanto kepada pers, Sabtu 17/10/2015.
  • Hari ini, suasana telah normal kembali. Sebagian besar pengungsi yang berjumlah 5000-an orang telah kembali ke rumahnya tanpa gangguan apapun. Bupati Aceh Singkil, Safriadi dalam kata sambutan dan suasana haru biru menyambut kepulangan kembali warganya menyatakan telah mengeluarkan surat izin bagi sebuah rumah ibadat yang disambut tepuk tangan dan teriakan gembira para warga yang sempat cemas dengan aksi di tempatnya pada Selasa kelabu yang lalu. Sementara itu, di daerah tetangga penggalangan dana untuk pengungsi Singkil(kotak amal) langsung beredar, seperti di Sibolga dan di Dari.

Dari beberapa indikasi di atas menunjukkan bahwa dampak negatif kerusahan berat yang diharapkan oleh provokator tidaklah separah yang diharapkan meski sempat mencederai hubungan ke dua umat yang telah hidup damai berdampingan berpuluh tahun lamanya.

Peristiwa itu jelas membuat malu karena mau tidak mau melekat stigma tak sedap tentang Aceh: barbar, egois, intoleransi dan dominan atau tidak menjadi pelindung bagi minoritas mencuat ke seantero dunia, menodai sikap toleransi yang justru melekat dan sangat dijaga selama ini, bahkan selama 30 tahun konflik politik dan keamanan masa lalu pun kondisi kerukunan ummat beragama dapat dipelihara.

Meski kecolongan karena warganya ditunggangi provokator menyebabkan salah seorang warga penyerang meninggal dunia tapi Pemda dan aparat keamanan cepat dan sigap menangkap provokator yang dituding sebagai pengipas dan pemanas melalui sms dan pelaku yang dituduh melakukan aksi pembakaran.

Harus kita akui proses penanggulangan dan koordinasi penanganan kasus Singkil sangat baik. Beberapa jam lalu -saat tulisan ini dibuat- Polda Aceh telah menangkap tiga orang yang disangka membakar rumah ibadah (gereja), yaitu Irwan (20), warga Buluhseuma, Kecamatan Suro, Nawawi (35), warga Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan, dan Saiful (27), warga Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil.

Badan Intelijen Negara republik Indonesia (BIN) mengakui BIN tidak kecolongan. Pihaknya yang bertugas di Aceh telah memberi informasi pada pihak terkait tentang potensi ancaman yang ditimbulkan oleh provokator yang menunggangi situasi tesebut sehari sebelum peristiwa yang kita sesalkan tersebut. Hal ini disampaikan oleh kepala BIN, Sutyoso kepada pers kemarin (16/10). Sumber :kompas.com

Pihak Polisi dan TNI dinilai begerak cepat dan konprehensif melakukan aksi pemutusan gerakan bawah tanah yang coba ditunggangi kembali saat kondisi memanas. TNI dan Polisi mensterilkan (masih bisa dilalui warga untuk kegiatan normal) beberapa jalur yang menhubungkan Aceh Singkil dengan kecamatan kabupaten tetangga, sepeti Sidikalang, Pakpak Bharat, Kodya Subussalam dan Barus serta Aceh Tenggara.

Di sisi lain, suasana damai dan tenteram terlihat di sejumlah rumah ibadat di Aceh, khususnya di ibukota Banda Aceh tidak ada pengawalan dan antisipasi apapun menandakan persoalan tersebut meski sangat disesali tapi BUKAN persoalan agama yang coba ditunggangi provokator.

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Singkil, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, sesungguhnya umat Islam di Aceh Singkil tidak keberatan dengan gereja yang berdiri di Singkil. Namun pembangunannya harus menaati peraturan yang ada.

Meski demikian, untuk ke depan dan selamanya, untuk kasus-kasus seperti ini kiranya pihak polisi dan TNI lah yang paling pantas ditugaskan paling depan, bukan pemerintah daerah setempat, apalagi cara komunikasi dalam menyampaikan alasan dan dasar hukumnya hanya dapat dipahami oleh jajaran pejabat pemda setempat karena mirip pejabat teras yang memberi pidato pada anak buahnya. Janganlah seperti itu, karena masalah rumah ibadat identik dengan masalah agama, maka penjelasannya juga harus hati-hati, menyentuh nurani dan bersifat mecari solusi.

Selain itu, untuk ke depannya jika terkait dengan masalah mirip seperti kasus Singkil, pihak kepolisian harus responsif mengolah informasi dan laporan warga. Kemudian polisi  bergerak lebih dahulu mengamankan seluruh obyek rumah ibadat milik siapapun dan agama mana pun di manapun, tidak mesti di Aceh dan Papua, melainkan seluruh tanah air.

Meski biayanya besar langkah ini harus dijalankan sebab akan lebih mahal lagi harganya jika terjadi anarkis dan intoleransi pada ummat beragama tertentu.

Persoalan tak kalah besar lainnya yang memerlukan perhatian serius di Kabupaten Singkil saat ini adalah :

  • Persoalan Sengketa lahan perkebunan. Gerakan Masyarakat Pembebasan (Gempa) telah ditunjuk untuk menggalang massa di 23 desa dalam lima kecamatan di Kab.Singkil.
  • Jurang perbedaan pendapatan dan ekonomi masyarakat Singkil amat dalam sehingga kecemburuan sosial tidak terhindarkan. Salah seorang tokoh masyarkat setempat menyatakan bahwa peristiwa Singkil bukan dipicu oleh masalah agama melainkan lebih karena kesenjangan ekonomi yang dalam di daerah ini. "Persoalan kesenjangan ekonomi ini bagaikan bom waktu yang sudah cukup lama dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat setempat, tapi tidak pernah terangkat ke permukaan," kata Jasman ST yang juga salah satu wakil rakyat di Kabupaten Aceh Selatan tetangga Singkil.
  • Provokasi oleh salah satu pemuka agama salah satu agama tentang issu pembunuhan di Singkil yang ternyata tidak benar harus segera diperhatikan.
  • Polisi harus mendengarkan keluhan dan laporan masyarakat dan mengambil tindakan hukum melalui proses yang berlaku. jangan didiamkan sehingga menahun. Peristiwa di Singkil menurut Nasir Djamil dari Komisi III DPR RI akibat pihak kepolisian setempat lalai menyikapi laporan masyarakat. "Mungkin ada pihak-pihak yang anti agama memanfaatkan hal ini. Terjadinya  kerusuhan seperti di Aceh Singkil disebabkan aparat kepolisian lalai," katanya seperti dikutip dari Republika.17/10/2015

Apapun alasan dan sebabnya, menjaga kerukunan umat beragama dan menjaga persatuan dan kesatuan berbangsa dan tanah air selayaknya dikedepankan, sebab persoalan kesenjangan ekonomi tidak saja terjadi di Singkil dan seluruh Aceh, melainkan juga terjadi di seluruh Indonesia termasuk di ibukota Jakarta.

Marilah sama-sama kita kedepankan logika supaya hidup saling berdampingan yang harmonis ini tidak mudah ditunggangi oleh provokator yang meninginkan Indonesia menjadi Suriah, seperti pesan presiden Jokowi kepada kita dalam menanggapi kasus makar dan intoleransi di Aceh Singkil.

Salam Kompasiana

abanggeutanyo

Keterangan gambar :

Mahasiswa asal Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, membawa poster dan spanduk saat berunjuk rasa di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Selasa (13/10/2015) (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun