Eksistensi dan sejarah warga muslim di Burma atau Myanmar telah ada sejak abad ke 9 atau sebelum adanya kerajaan pertama Burma. Seribuan tahun sebelum Myanmar merdeka warga muslim telah menetap di sana dari satu generasi dinasti Burma turun temurun hingga masuk dalam kekuasaan kerajaan Britania Raya.
Beberapa dinasti Birma telah memperlakukan muslim Burma -saat itu- sebagai warga kelas pinggiran alias tak memiliki nilai jual, malah tidak bernilai rasanya. Barulah pada masa dinasti Konboung posisi warga muslim justru mendapat penghargaan dari kerjaan yang berkuasa di Myanmar karena kemampuannya berasimilasi dengan kerajaan dan menjadi prajurit yang dipercayakan pada masa itu.
Saat kerajaan Inggris berkuasa di Myanmar pada abad 19, warga muslim juga masih diperlakukan dengan baik. Beberapa diantara mereka mendapat hak yang sama di dalam mengelola roda pemerintahan dan mengecap pendidikan di koloni Inggris tersebut.
Pasca masa kemerdekaan, warga muslim di Myanmar mendapat tekanan kembali bahkan melebihi intimidasi dinasti Burma pada jaman Burma kuno. Terlebih-lebih saat Ne Win berkuasa dan dilanjutkan oleh Thein Sein dengan aneka issue SARA yang menyudutkan penganut agama minoritas.
Upaya membagi kantong wilayah berdasarkan suku ke dalam region oleh pemerintah junta militer memperlihatkan strategi penyebaran kantong warga mampu memberi perlindungan menyeluruh untuk etnis dominan Burma.
Warga Muslim dianggap sebagai ancaman paling berbahaya dari insurgensi apapun termasuk dari pemberontak Karen dan Kokang bantuan RRC.
Pernyataan politik berbau SARA sering terlontar dari pejabat teras Myamnar, hal ini kerap memicu serangan terhadap warga muslim Rohingya oleh mayoritas warga Myanmar terutama yang digerakkan para shiksu muda dan ultra nasionalis..
Di sisi lain, ganasnya junta militer Myanmar ternyata tak mengenal batas. Selain merobek-robek demokrasi dan HAM atas minoritas lain di negerinya, pemerintah Myanmar juga super represif alias bertangan besi dalam menangani aneka perlawanan terhadap pengusa. Terhadap pejabat negara sendiri yang dinilai kontra dengan penguasa kerap menjadi korban. Apalagi pejabat pendukung demokrasi seperti yang terjadi pada Jendral Aung San and Daw Khin Kyi (ayah kandung Aung San Suu Kyi). Ia tewas dibunuh oleh lawan politiknya pada 19 Juli 1947.
Setelah letupan awal tersebut, sejumlah aksi gelombang protes bermunculan. Diaspora suku Karen (KNU) mulai merebak sejak 1960. Perburuan sadis milter Myamnar memaksa KNU mengungsi ke pedalaman bagian selatan hutan Myamar berbatasan dengan Thailand. Meski terus diburu KNU semakin diperhitungkan hingga saat ini.
Lalu gelombang protes 1988 dipadamkan dengan tangan besi. Sejumlah simpatisan pro demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi dari ormas National League for Democracy (NLD) dan ormas pro demokrasi lainnya mendapat perlakuan super represfi. Tak kurang 3000 orag pro demorasi tewas bersimbah darah di tangan junta militer dibantu organisasi biksu pro militer dari laskar sipil Union Solidarity and Development Association (USDA).
Pada 20 Juli 1989 Suu Kye seperti ayahnya ditangkap militer, Suu Kye setelah ditangkap dikenakan tahanan rumah hingga dilepas kembali enam tahun kemudia pada Juli 1995. Skenario pembusukan Suu Kyi dilakukan junta militer dengan melontarkan tema-tema anti budha dan kelainan sex pada Suu Kyi selama ia dalam tahanan rumah yang terisolasi dari dunia luar.