Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bayangan Venesia van Jakarta 20 Tahun lagi?

20 Januari 2014   00:03 Diperbarui: 30 April 2019   19:49 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : atypik-travel.com

Menurut catatan, kondisi Venesia seratus tahun lalu belum tenggelam seperti saat ini. Pembangunan pabrik industri logam, kimia dan plastik yang memompa air tanah -entah bagaimana kaitannya- menimbulkan gas metan sehingga merusak ekosistim tanah dan lambat laun menurunkan permukaan tanah Venesia.

Seratus tahun lalu, Venesia kebanjiran 6-7 kali dalam setahun, akan tetapi akibat eksploitasi tanah dan lingkungannya untuk kepentingan industri dengan sangat ekstrim kini air laut pasang menerjang Venesia sampai 100 kali dalam setahun bahkan ditempat tertentu tetap abadi dikepung air laut. (sumber : Di Sini)

Rasa-rasanya terlalu ekstrim membandingkan Jakarta Utara dengan Venesia. Akan tetapi sekadar menjadi pembanding yang bertujuan untuk meningkatkan mawas diri tak salah kita bandingkan antara Venesia dan Jakarta Utara.

Dari sisi luas wilayah, Venesia salah satu provinsi di negara Italia ini memiliki luas 424 km² sementara Jakarta Utara  berstatus sebagai kota adminstratif, memiliki luas hanya 137 km².

Meski bukan Provinsi, penduduk Jakarta Utara mencapai (perkiraan) 1,6 juta orang termasuk kepulauan Seribu, sementara Venesia hanya dihuni oleh sekitar 400 ribu penduduk atau 25% penduduk Jakarta Utara.

Dari sisi ketinggian geografis terhadap permukaan laut, Venesia kini berada pada 0 mdpl, sedangkan Jakarta Utara sedikit lebih lega, ketinggiannya berkisar antara 0 - 2 mdpl.

Jakarta Utara dikelilingi ratusan pulau kecil yang terbentang sepanjang 32 km, sementara Venesia dikelilingi oleh 50-an pulau dan laguna yang  membentang seluas 212 mil persegi.

Venesia dibangun di atas tumpukan jutaan batang kayu yang ditanam ke dalam tanah setelah tenggelam selama 1000 tahun ke laut. Sementara itu kondisi tanah Jakarta Utara pada umumnya adalah batuan hasil pengendapan jutaan tahun lalu. Strukturnya tidaklah padat sehingga air tanahnya terpengaruh oleh air laut.

Sejak satu dekade terakhir teramat sering kita melihat Jakarta (terutama Jakarta Utara) diterjang rob. Apakah ini artinya beberapa bagian di Jakarta Utara permukaan tanahnya telah sejajar dengan permukaan laut, belum dapat dipastikan.

Jika 10 tahun lalu kondisi permukaan Jakarta Utara  turun signifikan (tanpa diharapkan) kondisinya akan terus turun dan memberi dampak penurunan di wilayah Jakarta lainnya terutama di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

Menurut informasi dari berbagai sumber, rata-rata permukaan Jakarta Utara setiap tahunnya turun mencapai 3 cm. Penurunan tanah yang terparah adalah di daerah Penjaringan mencapi 4,8 cm setiap tahunnya. Dengan kata lain, dalam 20 tahun ke depan permukaan Jakarta Utara bisa turun 50 cm - 98 cm.

Bayangkan apa jadinya jika permukaan tanah Jakarta Utara turun mencapai lebih 2 meter dalam waktu 20 tahun lagi, bukankah ini akan membahayakan warga dan kota Jakarta dari terjangan rob lebih dahsyat lagi?

Sulit membayangkan ibukota dikelilingi oleh air dan air laut di mana-mana. Penduduk Jakarta Utara pasti bergerak pindah ke lokasi lainnya agak ke selatan atau ke timur Jakarta. Kondisi ini menciptakan dampak sosial lainnya dari masalah kebutuhan pokok (air dan penginapan) juga menyebabkan eksploitasi alam dan lingkungan Jakarta Selatan dan Timur semakin menjadi-jadi.

Dua puluh tahun ke depan, Jakarta Selatan dan Timur kelebihan muatan menampung warganya dan mengganggu ekosistemnya. Bukan tak mungkin kedua lokasi tersebut juga akan menerima dampak yang tidak diharapkan seperti yang membayangi Jakarta Utara saat ini.

Apa yang harus dilakukan saat ini untuk menyelamatkan Jakarta? Cukupkah membuat saluran Banjir Kanal Barat dan Timur yang seolah menjadi dewa penyelamat dari banjir akhir-akhir ini?

Tak heran BKB dan BKT itu seolah kurang berfungsi menampung air karena terjangan rob semakin menjadi-jadi dari arah Utara, sementara ekosistem di Bogor dan Jakarta Selatan semakin dirusak untuk kepentingan bisnis semata tanpa menghiraukan dampak diseklilingnya.

Haruskah Jakarta ditinggalkan? Lihatlah beberapa fakta yang telah sama-sama diketahui dari media massa berikut ini :

  1. Penurunan permukaan tanah paling parah terjadi di Jakarta Utara
  2. Tujuh jembatan di Jakarta Utara dan Selatan mulai amblas.
  3. Tanah Jakarta diperkirakan akan turun 2,6 meter pada 2030.
  4. Proyek rumah susun marak dimana-mana, dianggap salah satu pemicu tanah amblas di Jakarta.
  5. Lubang menganga di tempat parkir RS Koja
  6. Jalan Pulo Besar III, dekat SPBU Sunter amblas sedalam 30 meter.
  7. Jalan Pluit Jaya, amblas sedalam 30 cm
  8. Sebelumnya, 16 September 2010 pukul 03.15 WIB, Jalan Raya RE Martadinata yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara menuju arah Kota pun amblas sedalam 7 meter dengan panjang patahan sekitar 103 meter.
  9. Jauh sebelumnya, pada 2008, sejumlah bangunan di Jakarta juga mulai ambles. Sebut saja gedung Sarinah dan gedung Badan Pengkajian dan Penyerapan Teknologi (BPPT) di Jalan MH Thamrin. (Sumber : http://jakarta45.wordpress.com)

Jakarta masih tetap aman dan layak dihuni asalkan pemerintah dan warganya memahami pentingnya menjaga kesimbangan ekosistem lingkungannya agar generasi beberapa dekade mendatang masih melihat Jakarta bukan saja sebagai ibukota negara melainkan juga kota yang indah, asri, sehat, membanggakan dan bersih lingkungannya.

Mungkin ada beberapa diantara penghuni Jakarta yang mendambakan Jakarta layaknya menjadi seperti Venesia saja. Mereka membayangkan romatisnya berperahu dengan gondola menyusuri lorong-lorong Jakarta dan menerobos dari bawah jembatan.

Mungkin ada juga yang mendambakan hadirnya restoran terapung atau cafe modern di atas kapal yang akan membawa pengunjungnya mengitari jalan yang telah amblas beberapa meter ke dalam tanah.

Di sisi lain, para pelancong dari luar daerah atau dari luar negeri akan melihat gedung-gedung bertingkat tinggi yang harus dicapai dengan perahu atau boat atau sekoci sehingga menjadi peluang bisnis baru.

Mungkin bayangan ini terlalu berlebihan rasanya, jika yang terjadi adalah kota mati berisi rumah dan bangunan kumuh, runtuhan puing dan balok kayu dan sisa bangunan berkubang dalam genangan air yang tidak mengalir. Jentik dan nyamuk bersarang diantara tikus-tikus dan binatang muara, amat ngeri melihatnya bukan? 

Oleh karenanya, sebelum itu terjadi, marilah beergandeng tangan menyelematkan Jakarta dan warganya agar gambaran yang tidak kita harapkan itu hanyalah sebatas peringatan saja, agar kita semua mulai mewujudkan pembangunan Jakarta yang berbasis pelestarian ekosistemnya.

Jika kita semua tidak memiliki kesamaan visi merawat dan membangun atau menghuni Jakarta secara manusiawi, meski Jakarta terus dilanda banjir di bagian tertentu sebentar lagi  kita dapat memanfaatkan kawasan banjir dengan hadirnya "The real Venesia van  Jakarta."

Salam Kompasiana

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun