Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Lapor Dulu Urusan Belakangan, Fenomena Musim Fitnah

11 Februari 2015   08:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_396171" align="aligncenter" width="560" caption="Sumber : http://poskotanews.com/2014/12/23/menyebarkan-fitnah-itu-mudah/"][/caption]

Melapor dan mengadu tentu beda dalam artian maupun hukum. Dalam KBBI, Melaporkan (melapor) merupakan kata kerja yang mempunyai arti sebagai "Memberitahukan". Sementara itu, "Mengadukan" hampir sama dengan "melapor" tapi lebih spesifik dengan penyertaan dalil atau data atau informasi yang lebih tajam dan terpercaya dibanding penyertaan dokumen Melapor.

Melaporkan dan Mengadukan, undang-undang memberikan hak tersebut, boleh MELAPORKAN sesuatu kepada penyidik, akan tetapi yang boleh MENGADUKAN adalah hanya pihak yang memenuhi syarat sebagai pengadu. Jadi antara Melaporkan dan Mengadukan memang beda katagori dan inilah sesuatu yang mungkin sangat dipahami oleh pelaku (Pelapor/Pengadu) atau bisa jadi sebaliknya, tidak memahami antara keduanya dengan baik sehingga terasa begitu mudah.

Peristiwa yang sangat sering terjadi saat ini adalah Melaporkan. Pelapor membuat laporan ke penyidik terhadap seseorang (terlapor). Ironisnya, sebelum sampai ke penyidik para pelapor lebih dahulu melapor ke media massa, mulai dari televisi hingga ke koran dan situs online termasuk situs media sosial.

Beberapa tindakan melapor terhadap topik paling hangat 2015  paling sering kita kenal atau dengar kepada penyidik yang dirangkum dari Januari 2014 hingga tulisan ini dibuat (10/2/2015) contohnya sebagai berikut:


  • 13 Januari 2015, KPK  melaporkan kasus Komjen BG ke Proesiden

  • 21 Januari 2015, kuasa hukum KOmjen BG melaporkan pimpinan KPK ke Polisi dan Kejaksaan Agung

  • 22 Januari 2015. Yusril dukung Samad, Laporkan Hasto ke Polisi

  • 25 Januari 2015, Sugianto Sabran, mantan Sekjen PDIP melaporkan Bambang Widjojanto (BW) ke Polisi.

  • 29 Januari 2015, kuasa hukum BW laporkan Polisi ke Ombudsman

  • 20 Janauri 2015, Farhat Abas melaporkan ke Polisi orang yang dituduh mencemarkan nama baiknya

  • 25 Januari 2015, BW laporkan Polisi  ke Komnas HAM

  • 27 Januari 2015, Silvi Shofawi Haiz, mantan sekretaris, melaporkan mantas bosnya (Farhat Abas) ke polisi karena diduga penganiayaan

  • 28 Januari 2015, Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Jawa Timur, Fathur Rosyid, melaporkan wakil ketua KPK, Zulkarnaen ke Polisi

  • 5 Februari 2015, Denny Indrayana, dilaporkan ke Polisi karena memberi statement "BG menggunakan jurus mabuk."

  • 9 Februari 2015, Kompol Teuku Arsya mengadukan sejumlah oknum TNI AL yang mengeroyoknya di Bengkel Cafe, SCBD Jakarta Selatan.

Masih banyak peristiwa melapor yang hangat-hangat lainnya yang tidak dapat dimuat dalam contoh tulisan ini. Intinya adalah, peristiwa melapor dalam konstelasi hukum dan politik yang melibatkan public figure atau lembaga negara saat ini sangat marak.

Sulit memberikan penilaian setuju atau tidak setuju terhadap sejumlah aksi melaporkan yang kini mewabah di segala lini. Karena nilai benar atau tidak benar laporan tersebut hanya pihak pelapor dan terlapor yang mengetahuinya. Dan ketika status laporan tersebut meningkat menjadi perkara ke pengadilan, masing-masing pengacara dari kelas ringan sampai kelas berat beradu argumentasi dan strategi mempengaruhi Jaksa dan Hakim dalam proses pengadilan.

Untuk kasus yang memang memenuhi syarat laporan dan pengaduan hingga ke tingkat tertuduh bahkan menjadi tersangka, langkah melapor itu jelas membuahkan hasil. Tapi apa daya jika laporan (melapor) itu hanya gertak sambal atau bumbu penyedap topik hangat bermuatan politis untuk meruntuhkan seseorang atau sebuah lembaga?

Apalagi jika belakangan ternyata laporan itu hanya isapan jempol belaka alias hanya bagian pencitraan negatif oleh "gerombolan sorak" yang meramaikan dunia persilatan obyek yang sedang menghangat, sadarkah risiko apa yang harus diterima oleh pelapor?

Sebagian di antara mereka yang konservatif mungkin menjawab. "Tak penting dengan risiko itu. Ini fakta, ini benar, ini memang terjadi dan saya melihatnya lengkap dengan bukti ini dan itu..."

Sebagian lagi, kelompok ekstrem menyikapi dengan enteng, "Ah, emang gue pikirin? Yang penting lapor saja dulu, urusan belakangan.."

Dari kategori manakah aksi melapor yang kini marak menghiasi blantika hot topic politik dan hukum di negeri kita saat ini?

Dalam Undang-undang Pidana, setiap orang yang melapor ternyata laporannya salah (bahkan palsu) masuk dalam unsur Fitnah. Ancaman terhadap gerombolan atau perorangan yang kerjanya memfitnah orang lain, salah satunya adalah Pasal  317 KUHP. Bunyinya seperti ini:



“Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Mungkin bagi kalangan tertentu tidak khawatir dengan pasal di atas karena berkemampuan mengolah kata dan kalimat dengan kosakata interpretasi yang membuat pengacara lawan atau jaksa bahkan hakim keteteran alias kebingungan. Akhirnya, paling tiga bulan saja, itu pun belum potong masa tahanan. (bahkan dapat remisi lagi... hehehehe..).

Mari kita ambil saja yang positifnya. Pasal di atas berlaku dengan baik dan benar. Berjalan di atas relnya tanpa diplesetin dengan berbagai interpretasi lagi oleh siapa pun.

Jadi fenomena sedang marak saat ini dalam hal melapor dengan menyampingkan risiko akibat urusan belakangan itu hendaknya ditiadakan atau jangan sampai terjadi, karena ancaman hukumannya lumayan lama, 4 tahun penjara.

Lebih menyedihkan lagi, ternyata yang dilapor (terlapor) sedang asik menikmati hari-harinya penuh kegembiraan dalam aneka sukses yang menyertainya. Sementara pelapor (fitnator) mendekam dibui hanya bisa memandang lesu dalam tatapan kosong sambil menghitung hari dari balik jeruji besi.

Sekadar mengingatkan saja, sebagai orang beragama, dari sisi agama mana pun menolak sikap tidak terpuji tersebut. Fitnah itu, lebih kejam dari pembunuhan, bukan?

Salam Kompasiana

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun