Mohon tunggu...
Fathih Habib Ananda
Fathih Habib Ananda Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

saya hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayam Lado Hijau Koto Gadang

7 Oktober 2024   16:24 Diperbarui: 7 Oktober 2024   16:40 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bu Siti terkejut. "Tapi, aku tidak pernah berpikir untuk menjadikannya usaha."

"Kenapa tidak? Rasa masakanmu sangat luar biasa! Banyak orang akan menghargainya," Rina meyakinkan.

Setelah berbincang-bincang lebih lanjut, mereka sepakat untuk mencoba membuka warung. Dengan semangat baru, Bu Siti mulai mempersiapkan semua yang diperlukan. Ia mengumpulkan peralatan memasak, membuat daftar bahan yang dibutuhkan, dan merancang tempat di teras rumahnya untuk menjadi warung kecil.

Setelah beberapa minggu mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya warung "Ayam Lado Hijau Koto Gadang" pun dibuka. Bu Siti dan Rina menggantung spanduk berwarna cerah, dengan gambar Ayam Lado Hijau yang menggoda selera. Kabar tentang warung baru ini cepat menyebar di desa, dan hari pembukaan dipenuhi oleh tetangga dan teman-teman yang penasaran.

Begitu pintu warung dibuka, aroma harum dari Ayam Lado Hijau langsung menyebar ke seluruh penjuru. Mereka yang datang tidak hanya menikmati masakan, tetapi juga merasakan kehangatan dan keramahan Bu Siti dan Rina. Setiap suapan membawa kenangan, nostalgia yang membuat orang-orang betah berlama-lama di warung.

Hari demi hari, warung itu semakin ramai. Bu Siti mengembangkan menu dengan memasukkan berbagai masakan khas Minangkabau lainnya, seperti rendang dan sambal lado merah. Pelanggan pun datang dari desa-desa sekitar untuk mencicipi masakan yang lezat dan autentik.

Suatu sore, seorang jurnalis lokal datang ke warung. Ia ingin menulis tentang Ayam Lado Hijau yang terkenal ini. Artikel tersebut segera diterbitkan di koran, dan warung Bu Siti menjadi sorotan. Banyak wisatawan mulai berkunjung, membuat warung kecil itu semakin hidup.

Bu Siti merasa sangat bersyukur. Usahanya tidak hanya memberikan rezeki bagi keluarganya, tetapi juga menyebarkan cinta dan kebudayaan Minangkabau melalui masakan. Ia mengajarkan resepnya kepada putrinya, Ayu, sehingga tradisi memasak ini bisa terus berlanjut.

Di malam hari, saat warung tutup dan semua pelanggan pulang, Bu Siti dan Rina sering mengobrol tentang impian mereka. Mereka membayangkan untuk membuka cabang di kota agar lebih banyak orang dapat menikmati Ayam Lado Hijau. Mimpi itu terasa semakin nyata dengan dukungan dari masyarakat.

Ayam Lado Hijau bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga simbol dari kerja keras, cinta, dan kekeluargaan. Bu Siti belajar bahwa masakan terbaik adalah yang disiapkan dengan sepenuh hati, dan setiap sendok yang dihidangkan memiliki cerita yang menghangatkan jiwa. Dan di Koto Gadang, warungnya akan terus menjadi tempat berkumpul, berbagi tawa dan rasa, selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun