Televisi (TV) adalah sebuah mediatelekomunikasi terkenal yang berfungsi sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam-putih) maupun berwarna. Kata "televisi" merupakan gabungan dari kata tele (τῆλε, "jauh") dari bahasa Yunani dan visio ("penglihatan") dari bahasa Latin, sehingga televisi dapat diartikan sebagai “alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan media visual/penglihatan.” (wikipedia) lebih lanjut wikipedia mengungkapkan tayangan TV bertujuan untuk menghibur, memberi pengetahuan, serta mendidik para penonton.
Faktanya? Hari ini di negara ini televisi hanya sebatas untuk menghibur semata katanya wahana untuk relaksasi dan pelepas penat. Sementara konteks memberi pengetahuan dan mendidik persentasenya hanyalah sedikit saja, dan rerata tayangan yang mendidik dan memberi pengetahuan sebatas pukul 13.00 W.I.B sampai pukul 20.00 W.I.B, itupun dengan catatan tidak semua channel yang menanyangkan hal berbau memberi pengetahuan dan mendidik, selebihnya? Jelas hiburan semata pelengkap iklan agar bisnis pertelevisian yang di tawarkan dapat berjalan sebagai ladang pencari uang.
Herannya? Sebagian orang seakan terbius menyaksikan tayangan-tayangan yang benar-benar jauh dari kata mendidik dan memberikan pengetahuan. Sebagain orang lainnya bisa beralih bahkan tidak sama sekali memiliki TV dirumahnya, alasannya beragam dari tidak berguna, pembengkakan biaya listrik, menciptakan iklim malas, sampai kepada hal berhala model baru. Apakah sejauh itu? Sampai di cap sebagai berhala model baru? Bagi sebagian orang iya, karena mereka menganggap hampir semua tayangan televisi memberikan efek berbahaya ketimbang sarana edukasi, lebih jauh lagi banyak orang lupa akan waktu wajib mereka beribadah, serta juga mengundur waktu ibadah dan lebih memilih TV ketimbang hal wajib yang mesti mereka lakukan sebagai orang beragama. Masuk akal bukan?
Di kehidupan nyata, hal ini terbukti mengambil dari berita yang di rilis dari tempo.co memaparkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat mencatat ada sebanyak 364 tayangan program siaran televisi yang tidak layak ditonton oleh masyarakat sepanjang 2015. Penulis sendiri menyaksikan hal tersebut.
Terlepas sadar atau tidak, dengan kita menonton tayangan yang sama sekali jauh dari kata edukasi memberikan efek domino yang cukup kuat bagi stasiun TV untuk mempertontonkan itu kepada masyarakat dengan alasan komersial dan rating. Sedangkan untuk melakukan edukasi bagi rakyat, ah mungkin itu urusan nomor sekian untuk dipertimbangkan.
Paling sederhana stop menyaksikan tayangan-tayangan murahan dan tidak mendidik lama kelamaan itu tayangan juga mati karena tak ada peminatnya. Sayangnya, hal itu tidak mudah sama sekali karena banyak orang malah menikmati hal-hal pembodohan seperti itu dalam rangka relaksasi. Waw sekali bukan?
Bisa jadi kalau orang yang dewasa menonton tayangan tersebut bukanlah menjadi suatu masalah yang besar, lalu yang jadi berbahaya adalah ketika anak, dan remaja-remaja tanggung tentu ini menjadi hal yang patut di waspadai. Karena bagai manapun juga orang lebih condong melakukan perbuatan karena ada contoh yang pernah mereka saksikan, atau dengar.
Sebut saja contoh tayangan hiburan yang mengumbar tari-tarian yang tidak jelas dengan nuansa dangdut yang malahan menjadi hits beberapa waktu silam, tokoh-tokoh siluman bergentayangan di televisi seperti jamur di musim hujan, serial-serial tv yang menanyangkan kekerasan, pengucilan dan hal-hal lainnnya, belum lagi tayangan-tayangan yang di ambil dari sumber lain tanpa tambahan ide kreatif di acaranya (hanya mengambil dan mengambil)
Walaupun ada manfaatnya tetapi jauh dari pada itu kita di manjakan dan di biasakan dengan kebiasaan plagiat semata, acara musik menjadi ajang ngobrol dan berkelar dengan persentase musik itu sendiri kurang dari setengah tayangannya, serial TV yang memperontonkan aurat dari paha, dada dan banyak hal lainya (malahan sampai sengaja membuat tayangan isinya wanita dengan ukuran payudara yang besar dan menghubungkannya dengan Pembantu rumah tangga), acara gosip tidak bermutu, sampai adanya yang katanya guru agama (ustadzah) di acara ghibah, terbaru sekali acara beritapun kini di set sedemikian mungkin dengan menampilkan sutradara dan pemeranya dari pemangku pemerintahan.
Andai saja, penulis minta kepada pembaca untuk menguraikan lebih jauh mungkin saja deretan-deretan di atas bisa beberapa halaman sendiri. Karena pemikiran seseorang tentu amatlah beragam, walaupun kemungkinan besar akan juga menimbulkan pro dan kontra, tetapi sadar atau tidak banyak orang meninggalkan TV itu sendiri. Sebagai contoh; penulis dan bersama beberapa teman di rumah kost melihat TV hanya untuk menyaksikan pertandingan olahraga, jika tidak ada maka TV-TV kami bisu dan tak beraktivitas. Alasanya cukup sederhana, ketika menghidupkan TV sama sekali tidak mendapatkan suguhan pantas yang ditayangkan. Paling tidak menghidupkan TV lalu memutar seluruh channel dan akhirnya mematikan kembali karena tak ada tayangan yang menarik sama sekali.
Jika berbicara lebih jauh sebagai petugas berwenang dalam hal ini KPI, penulis rasa melakukan penindakan secar tidak kontekstual, ambil saja contoh pembluran kepada belahan dada, rokok, senjata, darah dan hal-hal lainnya. Padahal secara hirarki manusia adalah makhluk dengan tingkat penasaran tinggi, dengan pembluran maka dalam hal ini anak atau remaja tanggung akan mencari sebab mengapa hal itu di lakukan KPI, dan bahayanya mengekstraksi hal demikian menjadi kegiatan yang negatif. Bagi penulis, daripada di buat efek blur, lebih baik tidak ditayangkan sama sekali.
Kesimpulannya, tayangan-tayangan yang ada di TV sudah melenceng jauh dari tugas dan fungsi seharusnya, kelayakkan sulit sekali di temukan dalam tayangan TV, rata-rata pemilik stasiun TV hanya memikirkan bagaimana bisnis mereka menambah pundi-pundi harta bagi mereka, sedangkan urusan moral itu kajian yang tidak menjadi prioritas. Benar kiranya kalau ada yang mengungkapkan “guru di bayar murah untuk mendidik anak, dan pelaku dunia TV di bayar mahal untuk menghancurkan pendidikan. Semoga kita bisa menjadi pribadi kritis guna perkembangan penerus bangsa selanjutnya.
ADE RACHMAT FIKRI
Sumber: wiki/Televisi dan Tempo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H