Jujur saja, kalau ditanya mengapa Mas Karyo mau jadi PNS maka jawabnya adalah:
”Sungguh mati, saya tidak pernah mimpi jadi pegawai negeri. Sejak dalam kandungan banyak orang sudah tahu kalau pegawai negeri itu nggak enak, gajinya kecil. Karena itu saya nggak pernah bercita-cita jadi pegawai negeri.”
”Mengapa sekarang kamu jadi pegawai negeri ?”
”Mungkin terpaksa. Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah di negeri ini… Mungkin juga karena ingin menyenangkan hati orang tua … Dari pada nganggur… Atau mau tahu bagaimana caranya korupsi… atau… entahlah. Yang pasti pada saat itu cari kerja memang susah.
“Mumpung ada banyak formasi kosong, dik Karyo,” kata Pak Tulus tetangga sebelah rumah. “Ini kesempatan emas lho, dik. Kalau kamu berminat besok datang saja menemui saya di kantor.”
Keesokan harinya ketika Mas Karyo datang menghadap Pak Tulus di kantornya, ia langsung disuruh kerja. Padahal belum membawa surat lamaran. Tentu saja Mas Karyo kaget, sampai terbengong-bengong. Hari ini mulai kerja ?
Ya ampun, begitu mudahnya aku mendapat pekerjaan, menjadi orang kantoran. Tanpa sadar Mas Karyo menggigit bibir untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.
Seminggu kemudian Mas Karyo diminta untuk membuat Surat Lamaran oleh Kepala Bagian Kepegawaian. Sebulan kemudian langsung diangkat menjadi ”Capeg”, Calon Pegawai Negeri, Tanpa test, tanpa wawancara, tanpa uang sogokan, tanpa prosedur yang berbelit-belit. Mungkin nasib Mas Karyo lagi mujur.
Dan ternyata baik Pak Marijan maupun Bapak Kepala Bagian Kepegawaian tidak minta imbalan apa-apa. Mas Karyo merasa malu sendiri dengan pikiran-pikiran negatif yang sempat terlintas di benaknya. Cerita tentang sogok menyogok dalam penerimaan pegawai ternyata bohong belaka. Buktinya aku tanpa mengeluarkan uang sepeser pun bisa diterima menjadi pegawai negeri. Bahkan dengan begitu mudahnya. Ketika pada suatu kesempatan Mas Karyo menanyakan mengapa proses penerimaannya menjadi pegawai koq begitu mudah, Pak Tulus hanya terseyum.
“Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa bahwa kamu telah diberi kemudahan”.
Mas Karyo manggut-manggut. Tapi di dalam hatinya ia tidak puas dengan jawaban tersebut. Pasti ada alasan lain yang mendasar mengapa ia bisa diterima jadi pegawai tanpa harus melalui prosedur yang bertele-tele dan berbelit-belit seperti apa yang pernah ia dengar. Mas Karyo ingin bertanya lagi tapi tak punya kalimat yang baik.
Pak Tulus seperti dapat membaca perasaan Mas Karyo. Beliau berdiri, melangkah mendekati Mas Karyo, memegang pundaknya dan berkata :
“Dulu, ketika ayahmu masih bekerja di sini beliau adalah seorang pegawai yang jujur, rajin dan loyal kepada pimpinan. Beliau orang yang ringan tangan. Menolong siapa saja tanpa pilih kasih. Banyak orang merasa kehilangan ketika beliau pensiun.”
Ketika Pak Tulus kembali ke tempat duduknya, Mas Karyo sempat berpikir. Berat kalau begini urusannya. Berat !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H