The rules of the world merupakan film dokumenter garapan sineas dan jurnalis asal Australia pada 2001. Film ini menyajikan kondisi Indonesia yang merasakan dampak konstruktif dari globalisasi, baik di bidang sosial maupun ekonomi. Globalisasi yang seharusnya membawa dampak positif bagi Indonesia, justru sebaliknya. Kesengsaraan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia -- mereka yang berada di kelas bawah -- terjadi akibat praktik KKN yang dilakukan oleh para elit politik sejak rezim orde baru, hingga reformasi.
Melalui filmnya John Pilger tidak hanya menampilkan kondisi faktual Indonesia pada saat itu (2001), melainkan juga menyajikan data-data sejarah, yang membentuk hubungan antara kondisi yang terjadi dengan sejarah yang melatarbelakanginya. Untuk memperkuat narasi filmnya, John Pilger bahkan melakukan wawancara dengan berbagai narasumber, seperti sejarawan Indonesia, ahli ekonomi, buruh dan aktivis buruh, duta besar, bahkan perwakilan International Monetery Fund (IMF).
Film ini sangat tepat disaksikan oleh para akademisi, seperti mahasiswa, dosen, pelajar dan guru, maupun masyarakat umum. Meskipun dibuat pada 23 tahun lalu, akan tetapi film ini masih relevan untuk disaksikan saat ini. Bahkan beberapa narasi yang diramalkan di dalam film ini, telah terjadi pada saat ini. Melalui film ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang kompleks atas Indonesia, dimana situasi yang terjadi di Indonesia sekarang ini memiliki keterkaitan oleh masa lalu, dan tidak dapat dilepaskan dari kondisi global yang terjadi.
Bagi penulis, kekurangan pada film ini hanya merupakan kekurangan yang bersifat teknis, yaitu rendahnya kualitas visual. Hal ini mungkin dikarenakan oleh keterbatasan teknologi pada saat itu, dan jika dibandingkan dengan teknologi perfilman pada saat ini membuatnya menjadi terlihat kurang. Kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan baik oleh John Pilger dengan subtansi yang berbobot.
___
Globalisasi merupakan sebuah terobosan mutakhir abad ke-20. Bagaimana tidak? Globalisasi secara ideal memberikan sebuah mimpi bagi seluruh dunia untuk saling bahu-membahu mencapai sebuah kondisi dimana tidak adanya lagi ketimpangan antar bangsa. Jika pada abad ke-19 dunia terbagi-bagi ke berbagai perbedaan yang timpang, akibat imprealisme dan kolonialisme, pada abad ke-20 dunia memasuki babak baru, dimana perlahan imprealisme dan kolonialisme secara perlahan sirna. Kekalahan Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang dalam Perang Dunia ke-2 menjadi tanda terakhir kejatuhan imprealisme di muka bumi. Kehancuran dan kerugian akibat Perang Dunia ke-2 tidak bisa diatasi secara sendiri-sendiri. Benua Eropa yang sejak awal abad ke-18 dipenuhi oleh negara-negara maju yang demokratis dan industrial, merasakan dampak terparah dari Perang Dunia ke-2. Di belahan benua lain, seperti Amerika Latin, Asia dan Afrika terjadi gelombang kemerdekaan.
Semua 'kebebasan' yang telah diraih, baik oleh Benua Eropa, Amerika Latin, Asia dan Afrika tidak serta merta membawa hal baik, seperti kesejahteraan sosial maupun ekonomi. Di satu sisi perang juga melahirkan para pemenang. Dua 'pemenang besar' Perang Dunia ke-2 adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Di antara kedua pemenang tersebut hanya Amerika Serikat lah yang tidak banyak merugi, khususnya secara ekonomi. Sedangkan Uni Soviet meskipun menjadi salah satu pemenang, akan tetapi perang sangat berdampak bagi pemerintahan dan rakyatnya. Kondisi ini lah yang kemudian dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk tampil menjadi penolong bagi negara-negara sedunia, baik yang kalah dalam perang, atau pun yang baru meraih kemerdekaan.
George Marshall, Sekertaris Negara Amerika Serikat memberikan sebuah ide, yang pada akhirnya disetujui oleh Parlemen Amerika Serikat. Ide itu secara garis besar adalah Amerika Serikat perlu memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara di Eropa, khususnya Eropa Barat pasca perang. Ide ini kemudian dikenal sebagai Marshall Plan. Secara pragmatis, Marshall Plan bertujuan untuk membendung pengaruh Uni Soviet di Eropa. Singkatnya program Marshall Plan terbilang berhasil. Amerika Serikat tidak hanya berhasil membendung pengaruh Uni Soviet, melainkan memiliki pengaruh yang kuat di negara-negara Eropa Barat yang dibantunya, baik secara ekonomi maupun politik. Program Marshall Plan sendiri dilaksanakan oleh sebuah lembaga ekonomi Amerika Serikat, yaitu International Monetary Fund (IMF). Sebuah lembaga ekonomi yang didirikan pada 1944, setahun sebelum berakhirnya Perang Dunia ke-2. Misi utama IMF adalah menjamin stabilitas moneter internasional.
____
Pada 1945 Indonesia menjadi salah satu yang meraih kemerdekaannya. Akan tetapi kemerdekaan yang telah diraih Indonesia tidak serta-merta mengubah keadaan Indonesia menjadi lebih baik. Sampai dengan 1949 kemerdekaan Indonesia baru kemudian diakui oleh dunia, baik secara de jure maupun de facto. Namun, kemerdekaan yang telah diakui juga tidak langsung membawa Indonesia kepada kemajuan. Terjadi konflik-konflik internal, seperti pemberontakan, perpecahan politik, dan kesengsaraan di bidang politik dan sosial. Bagi para sejarawan Indonesia kondisi itu tidak terlepas dari upaya asing untuk memecah belah bangsa guna menancapkan kembali kekuasaannya di Indonesia yang merdeka, dan juga keegoisan para elit politik Indonesia kala itu.