Belum lama ini kita kembali dikagetkan dengan pemberitaan tewasnya seorang pegawai rumah sakit di tangan seseorang dukun yang mengaku mampu menggandakan uang. Padahal belum lama kita juga dikejutkan dengan kasus tewasnya belasan orang di tangan seorang yang juga mengaku sebagai dukun pengganda uang. Â Anehnya beberapa para korban notabene adalah orang-orang pintar yang mengenyam cukup pendidikan. Lantas mengapa peristiwa semacam ini dapat terulang kembali? Berbagai motif dan dugaan saling bermunculan. Namun dari kacamata kesejarahan peristiwa-peristiwa ini terkait pada satu hal yang sama, yakni lestarinya logika mistika atau pemikiran mistik yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Menurut Suhartoyo, logika mistika adalah cara berpikir yang menganggap bahwa penyebab segala sesuatu adalah roh atau hal-hal gaib. Roh dan hal-hal gaib dianggap memiliki kekuatan yang dapat memengaruhi kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Hal-hal demikian dapat kita jumpai di seluruh Indonesia. Baik di wilayah pedalaman yang jauh dari kemajuan teknologi, maupun di tengah kota metropolitan yang serba canggih dan modern. Semua itu seakan telah mendarah daging di dalam diri kita. Misalnya kita sering mendengar adanya seorang tokoh politik yang ingin maju ke gelanggang pemilu bertemu dengan seorang tokoh adat masyarakat atau individu yang dianggap orang 'pintar'. Atau seorang pengusaha kaya raya yang sedang menderita sakit menahun, yang mengatakan jika sakitnya akibat 'diguna-guna'.
Keduanya adalah contoh kecil dari masih lestarinya atau jika boleh dikatakan sebagai keterbelengguannya kita terhadap pola berpikir yang disebut dengan logika mistika. Terlepas dari alasan jika pertemuan tokoh politik itu dengan tokoh adat atau orang pintar itu semata-mata mencari simpat dan dukungan, namun sebaiknya dirinya lebih mendekatkan diri langsung kepada komunitas atau masyarakat yang nantinya akan membantunya untuk menang. Atau seharusnya pengusaha kaya raya yang sakit menahun itu dapat pergi ke luar negeri untuk berobat, dibandingkan harus mengatakan sakitnya akibat sesuatu yang tidak dapat dijelaskan.
Akan tetapi lestarinya pola pikir logika mistika pada masyarakat kita juga disebabkan oleh kemiskinan dan rendahnya pendidikan atau jika boleh tidak selesainya pemahaman akan pendidikan. Kebanyakan mereka yang pergi ke orang 'pintar', mempercayai segala hal berbau gaib didorong oleh kesulitan ekonomi. Mereka ingin keluar dari kemiskinan yang mereka alami, bahkan kebanyakan sejak lahir. Â Mereka menganggap jika kemiskinan itu akan mampu diselesaikan dibantu oleh kekuatan gaib tak kasat mata. Bukan dengan usaha dan kerja keras, serta investasi di bidang yang sangat berharga, pendidikan. Mereka percaya jika pohon-pohon keramat itu, makam-makan sakral itu, dan orang-orang 'pintar' itu adalah penolong bagi kemiskinan mereka. Mereka tidak menyadari jika semua itu bagaikan pepatah "serigala berbulu domba".
Padahal jika boleh kita mencari akar masalahnya, semua ini akibat ketidak mampuan negara untuk melaksanakan amanat UUD 1945. Kurva kemiskinan yang semakin tahun tidak kunjung turun, mengakibatkan kondisi sulit bagi masyarakat. Bantuan negara melalui pemerintah kian hari kian minim. Meskipun dari layar kaca atau kilasan berita yang berseliweran di media, pemerintah selalu mengatakan jika kerja-kerja itu semua untuk masyarakatnya. Namun fakta yang terjadi, bantuan itu hanya menutup sepertiga lubang masalah ekonomi yang dialami masyarakat. Jika sudah begitu pemerintah berdalih, jika semua harus berjuang bersama-sama. Bersama-sama ini bersama siapa? Apakah kebersamaan ini adalah pandangan yang dapat di universalkan antara si miskin dan si kaya? Dan juga apakah si kaya mau bersama si miskin? Jika iya seberapa banyak? Baiknya bukan lagi bantuan laksana damkar yang memadamkan kebakaran, melainkan pemberdayaan yang berkelanjutan dan bermuara pada kemandirian.
Lantas bagaimana dengan para politikus dan pengusaha kaya raya itu? Mereka semua bukan lah orang yang miskin, dan juga tidak dapat dikatakan bodoh. Kebanyakan dari mereka bahkan bergelar keagamaan (baca: haji) dan akademik (Prod, DR, maupun magister dan sarjana). Kedungunan yang mereka lakukan dengan merawat dan mempraktikan logika mistika tidak lain lebih disebabkan karena ketidak selesainya pemahaman akan pendidikan yang mereka telah tempuh. Akibat ketidak selesaian secara sadar mereka ikut terjerumus ke dalam logika mistika yang konyol.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pendidikan hanya dipandang sebagai saluran mobilisasi sosial untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Para orang tua menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat pendidikan tertinggi semata-mata hanya mengharapkan jika dari nilai, ijazah maupun gelar akademik yang mereka dapatkan akan membuat kehidupan mereka menjadi nyaman dan makmur. Menyelamatkan mereka secara ekonomi (baca: dari kemiskinan). Pendidikan kehilangan esensi filosofisnya di mata sebagian besar para orang tua Indonesia.
Padahal fungsi pendidikan tidak hanya semata-mata sebagai saluran mobilitas sosial dan ekonomi, melainkan juga memiliki fungsi filosofis. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Kata setinggi-tingginya memiliki makna, jika pendidikan bertujuan secara rohani dan jasmani, bukan hanya salah satunya saja. Pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia, yang nantinya membedakan dirinya dari makhluk lain. Seharusnya pengetahuan terhadap sesuatu secara kognitif, dapat mengubah atau setidaknya memperhalus sikap (afektif) dan akhirnya akan berdampak pada gerak atau laku anak (psikomotor).
Masalahnya dangkalnya pemahaman akan pendidikan membuat arti pendidikan menjadi sempit. Para orang tua akan senang jika lembar belajar anaknya bertaburan angka-angka berjumlah besar. Atau mereka akan senang jika anaknya hanya pandai ilmu bumi dan aritmatika, jika dibandingkan dengan pandai seni dan bahasa. Secara tidak sadar orang tua berperan juga (nantinya) dalam melestarikan logika mistika yang ada di sekitar kehidupan anak. Dan secara tidak langsung memagari anak dari pemahaman akan pentingnya pendidikan yang sesungguhnya. Segala pengetahuan (kognitif) yang mereka miliki tentang baik atau buruk, benar atau salah hanya menjadi pengetahuan yang bersifat normatif dan tidak berdampak pada apa-pun. Maka dari itu selama pemahaman atas pendidikan hanya sebatas sebagai saluran sosial maupun ekonomi semata, maka akan terus ada orang-orang yang menjadi korban para dukun palsu pengganda uang.
Akan tetapi alih-alih mengakui kekhilafan kita lebih senang berdalih, mencari pembenaran atas tindakan yang memang sebenarnya salah. Kita akan berdalih jika logika mistika itu adalah adat dan tradisi luhur yang harus dijunjung dan dirawat. Warisan sakral dari nenek moyang yang tidak boleh punah apalagi dimusnahkan. Dan selama dalih-dalih itu dianggap sebagai pembenaran, maka selama itu pula kita tidak akan pernah beranjak pada kemajuan. Pencapaian kemajuan di bidang pengetahuan hanyalah omong kosong. Sebenarnya kita tidak lah beranjak kemana-kemana.
Dan jikalau dalih berupa warisan luhur para nenek moyang tidak lah cukup memuaskan, maka kita akan dengan lugas mempersalahkan itu semua kepada sesuatu yang dikatakan takdir. Dan semua yang terjadi telah digariskan tanpa kita dapat melakukan apa-apa. Maka tentulah harus kita tanyakan kembali, apa guna pendidikan bagi kita? Untuk apa waktu dan daya yang sudah kita buang untuk pendidikan, jika logika mistika masih lebih kuat dari pada logika rasio. Mari sama-sama kita tanyakan semua ini kepada diri kita masing-masing. Semoga kita tidak menjadi bagian dari kelompok yang mengatas namakan segala hal, untuk melestarikan logika mistika yang menyesatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H