Sebentar lagi kita semua akan memasuki tahun, yang akan dengan sekali lagi menguji kesatuan kita sebagai bangsa. Tahun itu tidak lama lagi, yaitu tahun politik 2024. Masih segar dalam ingatan kita pada 2019 lalu, kita berhasil lolos dari ujian kesatuan. Ujian yang tidak bisa dikatakan mudah. Bagaimana tidak, saat itu kondisi yang sangat memanas.
Kesadaran kita sebagai sebuah bangsa yang satu hampir hilang akibat kebodohan kita sendiri. Kita yang hidup di akar rumput, yang minim pengetahuan dan kesadaran jika tidak perlu terlalu serius menanggapi politik praktis dengan mudahnya terbawa suasana.
Kita hampir lupa jika orang yang kita musuhi merupakan saudara kita sendiri. Saudara se bangsa dan se tanah air. Kita terlalu pongah akan keyakinan yang kita anggap itu kebenaran. Padahal tak lain dan tak bukan kita sedang menjadi barang obyekan. Obyekan para politikus yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada nasib kita kemudian. Mereka hanya peduli apakah kita memilih atau tidak untuk memilih.
Benih-benih perpecahan kini mulai nampak kembali. Perlahan kita kembali kepada kebodohan kita, yang kita lakukan pada 2019 lalu. Jika terdapat pepatah yang mengatakan keledai saja tidak akan jatuh pada lubang yang sama, nyatanya kita lebih sering jatuh berkali-kali. Mungkin kah itu dapat dikatakan, jika kebodohan kita sudah melebihi keledai?
Semakin ke sini, harapan atas kebebasan yang mencerdaskan kian sulit untuk diyakini. Kebebasan yang diterjemahkan sebagai ungkapan ekspresi, seringkali dijadikan dalih pembenaran atas kesalahan yang terang-terangan terjadi. Manipulasi hukum yang nyata adanya, dikatakan proses dari pendewasaan hukum dan demokrasi. Ketidakpatutan atas rusaknya etika perpolitikan yang jelas di depan mata dianggap kebebasan dalam menentukan pilihan dan juga kebebasan atas politik.
Semua itu menandakan kegilaan yang sedang terjadi ini semakin dibiarkan. Atas kemuakan kondisi tersebut banyak juga yang dari kita memilih untuk tidak perduli. Sebagian lain menangis di pojokan, menyesali atas tindakan yang telah mereka lakukan, karena dahulu mendukung orang yang kini tak memiliki etika moral dan politik.
Mereka-mereka ini yang meratap bukan lah orang bodoh. Banyak dari mereka ahli budaya dan intelektuil. Penjaga lilin pengetahuan dan peradaban. Namun sayang mereka tertipu oleh terang yang padahal hanya temaram.
Kembali kepada akar persoalan. Tahun depan bersiap-siap kembali. Bersiap untuk bertarung dalam makna sesungguhnya. Melawan saudara kita sendiri. Terjebak pada kebodohan. Terjatuh pada lubang yang sama untuk kesekian kali. Jikalau kita bisa lewat dengan selamat, bersyukurlah. Dan anggap kebodohan itu adalah pura-pura. Hanya dalih supaya mulut tetap bisa mengunyah makanan dan perut tetap bisa kenyang.
Teruntuk kepada kalian para manusia yang dulu bersuara lantang atas tirani dan kebusukan. Banyak dari kalian menjadi orang munafik. Bersembunyi pada dalih bahwa sikap kalian sekarang membela antek tiran adalah upaya untuk membuat mulut mengunyah dan perut kenyang. Kami (termasuk saya) kecewa terhadap kalian. Dan kami buang semua hormat itu di tempat sepatutnya. Septitank. Bersama semua kotoran. Semoga apa yang kalian kunyah dan membuat kalian kenyang dapat bermanfaat bagi kalian dan sanak keluarga kalian.
Teruntuk mesin pengeruk massa. Maaf kami yang waras tidak pernah percaya sedikit juga kepada kalian. Kalian hanyalah pedagang obat kaki lima. Yang lebih sering menjual omong kosong ketimbang kebenaran.
Terakhir. Mari berdoa bersama. Mari kita pinta kepada Tuhan agar untuk kesekian kalinya kita bisa lolos dari ujian ini. Dan tetap utuh sebagai sebuah bangsa yang sehat jasmani serta rohaninya. Dan semoga tidak lah lekas melupa, lalu jatuh ke lubang yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H