Semua kita, baik yang beragama Kristen, Hindu-Budha apalagi yang beragama Islam kaget dan diluar dugaan, bahwa penistaan dan penyerangan, intimidasi kepada ummat beragama Islam atas nama agama yang dilakukan oleh oknum GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) telah terjadi secara sangat memalukan sekaligus memilukan nilai-nilai kemanusiaan kita semua. Masih ada para oknum yang sangat biadab dan primitif tanpa memiliki moral/akhlak yang baik berencana untuk membumi hanguskan ummat Islam di Kecamatan Karubaga Kabupaten Tolikara (d/h.Wamena) Papua. Perencanaan penistaan dan pembakaran ini, sudah sangat nyata kalau kita membaca isi surat dari GIDI tertanggal 11 Juli 2015 Nomor : 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang ditujukan kepada ummat Islam se-Kabupaten Tolikara di Karubaga. Isi dari surat pemberitahuan GIDI ini adalah : 1) Mereka akan melakukan seminar KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015. 2) Pimpinan GIDI Wilayah Toli membatalkan dan menunda semua kegiatan yang mengundang ummat besar dari tingkat jemaat lokal dan klasis dari berbagai Yayasan atau lembaga-lembaga lain. Ini adalah urusan intern kalangan GIDI sendiri serta PGLII (Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia) dan tidak ada korelasinya dengan ummat beragama lainnya. Atas dasar butir 2) ini, GIDI memberitahukan bahwa : a. GIDI tidak mengijinkan pelaksanaan acara sholat Idul Fitri 1436 H pada tanggal 17 Juli 2015 diseluruh wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga). b. Ummat Islam boleh melaksanakan Sholat Idul Fitri dan merayakan lebaran diluar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau di Jayapura. c. Dilarang kaum muslimat memakai pakaian Jilbab. Dari gaya kalimat surat GIDI ini, mereka sedang memamerkan kekuatannya dan arogansi kelompok serta ingin menunjukkan bahwa GIDI adalah satu-satunya sebagai penguasa setempat dan GIDI tidak mengakui adanya Pemerintahan Daerah yang ada apalagi pemerintahan pusat NKRI. Selanjutnya, GIDI memanfaatkan momentum seminar KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional untuk melakukan pelarangan dan intimidasi kepada ummat Islam melaksanakan Ibadah ritual Sholat Idul Fitri berjamaah di Wilayah NKRI serta melarang hak azasi kaum muslimat untuk memakai pakaian Jilbab. Apa hubungannya dengan acara seminar Pemuda GIDI dengan Sholat Idul Fitri dan memakai Jilbab ? Apakah jika masyarakat (wanita) Karubaga-Tolikara memakai Jilbab bisa mengganggu secara serius acara Seminar KKR Pemuda GIDI? (surat GIDI kami tampilkan pada tulisan ini).
Presiden Joko Widodo sangat mengutuk keras : "Saya mengutuk keras pembakaran dan tindak kekerasan di Tolikara tersebut," kata Presiden Jokowi melalui akun resminya di Facebook, hari Minggu (19/07) malam."Saya jamin, hukum akan ditegakkan setegak-tegaknya, bukan hanya untuk pelaku kriminal di lapangan tetapi juga semua pihak yang terbukti mencederai kedamaian di Papua”."Masalah ini harus diselesaikan secepatnya agar ke depan tidak terjadi lagi kekerasan di Tanah Papua," kata Presiden Jokowi. Kita semua berharap sama dengan Presiden Jokowi agar Kepolisian RI bisa mengungkap secara tuntas sampai kepada otak teroris intelektualnya yang ada disekitar GIDI dan para simpatisan pendukungnya.
Tepatnya peristiwa pembakaran Karubaga-Tolikara pada tanggal 17 Juli 2015 pukul 07.00 WIT bertempat di lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga distrik Karubaga Kabupaten Tolikara saat akan berlangsung kegiatan shalat Idul Fitri 1436H yang dipimpim oleh Ustad Junaedi dan berujung pada keributan antara Jemaat GIDI yang dipimpin oleh Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) dengan Umat muslim yang sedang melaksanakan shalat Idul Fitri 1436H. Pendeta Marthen Jingga dan sdr. Harianto Wanimbo (koorlap) yang menggunakan megaphone berorasi dan menghimbau kepada jamaah shalat Ied untuk tidak melaksanakan ibadah shalat Ied di Tolikara dan megaphone yang bersuara keras itu diarahkan ke lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga distrik Karubaga Kabupaten Tolikara. Pukul 07.05 WIT Saat memasuki Takbir ke 7 ketika shalat pada rakaat pertama, massa yang di koordinir dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari arah bandara Karubaga dan luar lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga yang meminta secara paksa melalui megaphone untuk membubarkan kegiatan Sholat Ied dan mengakibatkan kepanikan seluruh jamaah shalat Ied yang sedang melaksanakan sholat. Pukul 07.10 WIT Massa pimpinan pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) mulai melakukakan aksi pelemparan batu dan perusakan kios-kios yang berada dekat dengan masjid Baitul Muttaqin. Pukul 07.20 WIT Aparat keamanan (Polres Tolikara) berusaha membubarkan massa dengan mengeluarkan tembakan, namun massa pimpinan pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) semakin bertambah dan melakukan pelemparan batu diarahkan pula kepada aparat keamanan. Pukul 07.52 WIT massa yang merasa terancam dengan tembakan peringatan dari aparat keamanan melakukan aksi pembakaran kios milik bapak Sarno yang berada didekat masjid Baitul Muttaqin sehingga api cepat merembet serta menjalar ke masjid Baitul Muttaqin. Pukul 08.30 WIT Api yang sudah membesar merambat kebagian-bagian kios yang lain dan menjalar melebar kebagian masjid Baitul Muttaqin. Pukul 08.53 WIT bangunan kios-kios dan masjid Baitul Muttaqin habis terbakar. Pukul 09.10 WIT Massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) berkumpul di sebelah ujung bandara Karubaga untuk bersiaga. Ada sebanyak lebih kurang 62 kios-rumah, harta benda, korban luka-luka dan satu Masjid yang ludes porak-poranda terbakar habis. (dari berbagai sumber 1, 2, 3, 4, 5)
Ummat Islam Karubaga-Tolikara yang melakukan sholat di lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga saja tidak mendapatkan keamanan dari Kepolisian RI, padahal sudah ada surat tembusan pemberitahuan tertanggal 11 Juli 2015 Nomor : 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 ke Polres Tolikara yang sangat memungkinkan pada 17 Juli 2015 ada peluang pertikaian, malah para oknum Massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Koorlap) berani melakukan pelemparan batu dan menyerang para jemaah yang sedang melaksanakan sholat Idul Fitri sehingga sholat hanya berlangsung satu rakaat saja lalu para jemaah membubarkan diri untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kalau ada pihak yang mengatakan permasalahan Tolikara bukan masalah agama tapi masalah sosial, adalah merupakan pelencengan permasalahan yang sebenarnya (penistaan agama Islam) yang akhirnya akan mengaburkan solusi penegakan hukumnya serta solusi toleransi beragama untuk jangka panjangnya. Berbagai pernyataan yang dicari-cari serta mengaburkan bermunculan, yang mengatakan karena adanya penggunaan pengeras suara disaat Sholat Ied dilapangan (Baca UUD 1945 Pasal 29 ayat 2). Sudah pasti harus menggunakan pengeras suara karena dilapangan agar suara Imam sholat bagi jamaah dibelakang bisa mengikuti dan mendengarkan khotbah. Sedangkan jemaat Gereja yang ada didalam saja, harus memakai pengeras suara ketika pendetanya berkhotbah di altar Gereja.
Kita semua berharap agar peristiwa yang sangat memalukan yang bernilai barbarianisme primitif ini, tidak akan terjadi lagi di Karubaga Tolikara serta ditempat lainnya di NKRI. Sesuai janji Presiden dan Kepolisian RI untuk mengungkap kejahatan kasus ini secara tuntas sangat dinantikan segera oleh seluruh rakyat Indonesia. Pengungkapan kejahatan pembakaran di Karubaga-Tolikara sangat mudah, karena ada alat bukti surat GIDI dan para saksi yang mengalami pelemparan dan pembubaran paksa melalui megaphone terhadap Sholat Idul Fitri di lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga yang dilanjutkan dengan pembakaran berbagai kios-rumah serta sebuah masjid. #Save Islam Papua. (Abah Pitung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H