Golongan putih sebutan bagi kelompok tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu tak pernah absen. Sejak pemilu pertama pada era reformasi hingga pemilu keempat yang tadi malam (09/05/2014) baru diumumkan hasilnya, selalu saja besar angkanya bahkan bertahan pada angka 2 (dua) digit. Namun bila dibandingkan dengan periode yang lalu, angka golput pada pemilu 2014 agak menurun, yakni dari 29,1 persen ke 24,89 persen.
Berikut ini data pemilih golput dari pemilu ke pemilu pada era reformasi:
Tahun 1999 : 10,21%
Tahun 2004 : 23,34%
Tahun 2009 : 29,1%
Tahun 2014 : 24,89%
Lantas apa saja penyebab orang memilih golput? banyak faktor, mulai dari persoalan administratif, ideologi, domisili, kejenuhan, keraguan, dansebagainya.
Pertama, persoalan administraif. Kekisruhan DPT dari masa ke masa seolah tak pernah usai. Ada saja warga yang mengaku tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Maka dalam hal ini kekisruhan DPT punya andil dalam menciptakan golput, diperparah lagi keengganan sebagian warga untuk mendaftarkan dirinya ke Panitia Pemungutan Suara setempat.
Kedua, persoalan ideologi. Tidak dipungkiri ada sebagian orang yang meyakini keharaman berpartisipasi dalam pemilu/pemilukada. Karena dalam pemahamannya pemilu yang adalah perangkat demokrasi yang produk barat. Mereka menolak sistem demokrasi dengan segala perangkatnya. Ideologi atau keyakinan tersebut memaksa mereka untuk absten dalam pemilu. Walau dalam hal ini majelis Ulama Indonesia berupaya memberi pencerahan melalui fatawanya mengenai haramnya golput.
Ketiga, persoalan domisili. Ada sebagian orang yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan tempat tinggal. Para perantau enggan pulang ke daerah asalnya untuk ikut pencoblosan karena jarak, waktu hingga dana. Mereka lebih memilih golput dariapada harus mengorbankan waktu dan dana. Walau dalam hal ini sebenarnya KPU telah memberikan kemudahan bagi mereka dalam pengurusan perpindahan tempat pencoblosan.
Keempat, persoalan kejenuhan. Dalam setiap periode lima tahunan, setidaknya ada empat bahkan lima kali pemilihan; pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati/walikota, dan pmilihan kepala Desa bagi yang tinggal di perdesaan. Seringnya pelaksanaan pemilu/pemilukada membuat mereka 'jenuh' dan apriori terhadap pemilu, apalagi mereka tidak merasakan langsung perubahan nasib hidupnya seusai melakukan pencoblosan.
Kelima, persoalan keraguan terhadap kredibilitas calon. Sebagian orang bersikap apriori terhadap pemilu/pemilukada karena keraguan mereka terhadap kredibilitas para calon yang diajukan parpol. Mereka sejak awal sudah pesimistis terhadap para calon, kalaupun kelak mereka terpilih kemampuannya diragukan dalam melahirkan aturan untuk kemaslahatan orang banyak atau dalam mengelola pemerintahan secara baik dan benar.
Dan mungkin masih banyak lagi faktor yang menyebabkan sebagian warga masyarakat memilih golput pada pemilu maupu pemilukada. Namun demikian, saya pikir sikap tidak memilih wakil rakyat atau pemimpin bukanlah solusi untuk perbaikan di negeri ini. Kita diingatkan oleh ungkapan Ali bin Abi Thalib : “Lebih baik dipimpin oleh orang yang zalim daripada negara tidak ada pemimpin.” Wallahu A'lam.
Jakarta, 10 Mei 2014
Salam Persaudaraan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H