TAK ada ide yang bebas nilai. Semua ide memiliki nilai, baik ataupun buruk. Apalagi ide itu terlontar dari calon presiden di muka umum. Baik menurut sang pemilik ide belum tentu baik menurut pandangan umum, begitupun sebaliknya. Masih hangat dalam ingatan kita, beberapa hari yang lalu pak Joko mewacanakan ide 'religi' yang menurut saya dan sebagian orang kurang substansial. Ide tersebut tiada lain adalah penetapan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional. Kita semua tahu selama ini 1 Muharram ditetapkan sebagai Hari Tahun Baru Islam.
Konon katanya ide tersebut bukan murni buah pikiran pak Joko, melainkan atas usulan kiyai dan santri. Itu yang pernah saya baca di media online, dengan pernyataan beliau kira-kira seperti ini: "Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirahim, dengan ini saya mendukung 1 Muharram ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional." Ungkapan itu dilontarkan di hadapan tim pemenangan, kiyai, dan santri pesantren Babussalam.
Kurang substansialnya ide di atas menimbulkan polemik diantara ummat Islam. Seingat saya, ini ide kedua pak Joko yang beroleh kritikan publik setelah ide penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga Indonesia. Bahkan politisi Fahri Hamzah menulis twit di akun twitternya @fahrihamzah dengan kalimat : “Jokowi janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!” sebuah kritikan yang cukup pedas.
Membaca ujaran twit di atas, sontak tim pemenangan Joko-Kalla dan pasukan media sosialnya bereaksi keras dan melaporkan 'kicauan' Fahri di atas ke bawaslu. Media cetak maupun online pendukungnya pun secara serius memublikasikan 'kejelekan' kicauan tersebut. Bung Fahri dianggap telah melecehkan pribadi pak Joko dan merendahkan santri. Rasa kekesalan mereka diwujudkan dalam bentuk demonstrasi oleh sejumlah 'santri' di depan kantor DPP Partai Keadilan Sejahtera. Entah santri berasal dari pesantren apa berkerumun, berorasi menyuruh bung Fahri memimta maaf ke pak Joko dan para santri. Dari sejumlah 'santri' yang ikut demo, ada pemandangan yang unik, di mana terlihat beberapa santri mengenakan anting di telinganya dan ada pula 'santri' berambut gimbal kurang rapi.
Benarkah 'kicauan' bung Fahri telah melecehkan pak Joko dan para santri. Tergantung dari sudut mana kita memandang. Saya pribadi sependapat dengan pikiran pak Mahfud MD bahwa ungkapan tersebut tak perlu dipersoalkan secara membabi buta. Pesan dari twit itu bukanlah penghinaan terhadap pribadi pak Joko maupun para santri. Namun itu suatu kritikan atas gagasan bukan pribadi orang. Maka aksi pengepungan kantor-kantor PKS di seluruh Indonesia menurut saya suatu reaksi yang berlebihan alias lebay. hehe
Kemudian, terlepas dari polemik antara bung Fahri dengan tim pemenangan pak Joko-Kalla, menurut saya ide mengubah 1 Muharram dari 'Hari Tahun Baru Islam' menjadi 'Hari Santri Nasional' adalah ide yang merugikan ummat Islam. Sebab, bobot 1 Muharram sebagai Hari Tahun Baru Islam lebih tinggi dari sekedar Hari Santri Nasional.
Penetapan 1 Muharram sebagai Tahun baru Islam paling tidak mampu mengembalikan ingatan ummat akan peristiwa besar dalam sejarah dunia Islam yaitu hijrahnya Rasulullah Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan penetapannya sebagai 'hari santri nasional' tanpa bermaksud mengenyampingkan peran dan kontribusi santri di negeri ini, mengurangi bobot kebesaran hari tersebut. Kalau pun mau menambah hari besar nasional akan lebih baik di tanggal yang lain saja. Meskipun menurut sebagian orang, saat ini saja sudah terlalu banyak tanggal merah. hehe. Wallahu a'lam.
Jakarta, 04 Juli 2014
Salam Persaudaraan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H