Bagi orang di luar Kota Yogyakarta, pernyataan ini dinilai terlalu optimis, karena ada kata "PASTI". Kalo banjir dalam artian meliputi luas daerah yang sempit, dengan tinggi berkisar hanya 10-30 centi, pasti ada lah. Maksudnya Bebas dari Banjir di sini adalah banjir dengan meliputi luas daerah yang cukup luas (> 1 km2), tinggi di atas 1 m, maka Yogya dapat dipastikan terbebas dari banjir seperti ini, seberapapun besarnya curah hujan.
Bukankah Kota Yogya itu termasuk wilayah dataran rendah, bukan pegunungan, mengalir beberapa sungai, dan mempunyai kepadatan penduduk yang hampir mendekati Kota Jakarta? memang benar, tapi beberapa faktor penyebab banjir di atas, mampu diselesaikan dengan satu FAKTOR saja, yaitu kecuraman geografis Kota Yogyakarta. Curamnya geografis di Yogyakarta ini sama sekali tak terlihat dan tidak dirasakan, kecuali bagi tukang becak, dan orang-orang yang terbiasa naek onthel.
Waktu kuliah awal2 di IAIN Yogyakarta dulu, heran juga, ketika berangkat ke kampus dari kost di Kotagede, jalannya terasa sangat berat. Harus banyak minum sesampai di Kampus, tetapi ketika pulang, terasa sangat enteng banget. Pikir punya pikir, tanpa bertanya, sudah ditemukan jawabannyak sendiri, bahwa secara geografis, Kota Yogyakarta mempunyai kemiringan, dimana wilayah utara lebih tinggi dari wilaya selatan. Hal ini dapat dilihat dari arah mengalirnya semua sungai dan anak Sungai, yaitu dari utara ke arah selatan. Jadi siapapun walikotanya di sini, tak perlu berpusing-pusing ria memikirkan masalah banjir.
(Jadi jangan protes saja ya, klo naek becak di Yogyakarta, dari arah selatan ke utara, biayanya lebih tinggi daripada dari utara ke selatan.)
Memang ada sih masalah banjir, terutama di daerah-daerah pemukiman pinggir kalicode, tetapi hal ini disebabkan sedimentasi sungai akibat "kiriman" pasir paska meletusnya Gunung Merapi beberapa waktu lalu. Hal itu cukup dilakukan dengan melakukan pengerukan di sepanjang Kali Code. Di luar daerah itu, Kota Yogyakarta dapat dikatakan bebas dari banjir, apalagi banjir bandang sebagaimana di Jakarta, apalagi di Manado saat ini.
Rumus banjir itu sebenarnya sederhana, yaitu bagaimana suatu daerah itu mampu mengalirkan air yang masuk. Apakah ia akan segera mengalir keluar, meresap kedalam tanah, ataukah segera surut menunggu penguapan. Karena itu, yang paling berpengaruh adalah beda tinggi permukaan dataran dengan kemampuan tanah menyerap air. Di Yogyakarta ini, factor terpentingnya adalah factor beda tinggi permukaan tanah. Jika hujan lebat datang, maka kita akan lihat bersama-sama, air akan mengalir sangat cepat ke selatan, atau menuju saluran air, dan berakhir di Sungai-sungai di Yogyakarta, seperti Kali Code atau Sungai Gadjah Wong.
Pendirian bangunan (IMB) di sini relatif lebih longgar, selama tidak melanggar AMDAL. Beda dengan yang ada di Jakarta, meski Jakarta sudah sangat padat dengan pemukiman, dimana satu kota penuh dengan beton, makanya kebijakan pengetatan IMB memang harus diberlakukan, tetapi kepentingan industry property sangat sulit diabaikan, dan 3 tahun ke depan setidaknya akan ada 80 gedung perkantoran baru yang menempati Jakarta. >> http://www.investor.co.id/home/perkantoran-jakarta-tumbuh-37/76036 .
NB: Artikel ini ditulis ketika Yogyakarta tengah menghadapi hujan sangat deras! Hujan deras yang jika terjadi di Jakarta, membuat semua orang was-was. ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H