Mohon tunggu...
abah animasi
abah animasi Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang service HP

Lelaki setengah abad yang menganggap hidup adalah perjalanan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi Selalu Terlahir

31 Januari 2019   09:59 Diperbarui: 31 Januari 2019   10:00 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Puisi cinta terhadap  lawan jenis paling bermasyarakat. Padahal puisi lama yang dikenal sebagai Mantra adalah suatu kata atau rangkaian kata yang mengandung kekuatan sihir. Bahkan  dalam masyarakat hindu mantra lebih merupakan kata-kata doa. Puisi yang melangit kerapkali sukar diterima di jaman praktis ini.

Tidak salah mengapa puisi lebih memasyarakat dalam pengertian sempit hanya sekitar birahi. Sedangkan sejarahnya sangat terkait dengan hasrat spiritual. 

Sebelum memuja dzat yang tak terhingga nampaknya perjalanan puisi harus memuja sesama mahluk yang fana. Seperti terjerembab karena syair sebagai puisi lama juga punya syair romantis alias syair cinta. .

Syair merupakan salah satu karangan atau jenis dari puisi lama, yang sangat terikat dengan berbagai aturan dalam penyusunannya. Mungkin angkatan 45 mensinyalir adanya ketidakbebasan dalam berekspresi lalu mereka membuat syair yang tidak mau terikat aturan dan penyusunannya. 

Saya mengomentari angkatan ini di blog saya dengan kalimat, " Mereka kadung dalam penggunaan bahasa yang halus sebagai penyair , tapi gemas untuk menegaskan posisi kenyataan". Maka sebutan puisi lebih sering terdengar dari kata syair. Puisi bisa bebas ditulis oleh siapapun dengan gaya apapun.

Perhatikan bagaimana Bung Karno menyemangati rakyat, "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia".

Lalu ketika kita remaja dan kasmaran mungkin akan menulis seperti ini, "Dimana cinta ketika bintang-bintang pudar di langitku? Aku hanya sanggup menenun senyummu"

Atau dalam pergulatan hidup akhirnya kita pasrah dan berkata lirih, "Oh, Maha Jagad Semesta rantailah aku dalam linangan air mata, agar aku tak menjadi buta."

Puisi seperti bertiwikrama dalam kehidupan, karena awalnya memang dunia spiritual. Dunia motivasi yang hingar bingar dalam deru semangat pencarian dan romantisme. Puisi memang tidak lagi ramai dibicarakan atau diseminarkan, tapi sudah hidup di tengah masyarakat. Dia selalu terlahir di periode dan orde apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun