Warung kopi di sudut kota sering kali menjadi tempat bertemunya berbagai pemikiran, semangat, dan cerita perjuangan. Malam itu, bersama beberapa mahasiswa dari pelosok negeri, kami terlibat dalam obrolan mendalam yang mengupas realitas kehidupan. Mereka, yang datang dari latar belakang sederhana, berbagi kisah perjuangan tanpa batas untuk meraih masa depan yang lebih baik. Di sisi lain, muncul perbincangan tentang privilese yang dimiliki oleh sebagian orang---terutama mereka yang lahir dari keluarga kaya dan sukses.
Privilese: Sebuah Anugerah atau Beban?
Privilese, secara sederhana, berarti keistimewaan atau kelebihan yang dimiliki seseorang berdasarkan keadaan yang sudah ada sejak lahir atau karena lingkungannya. Dalam konteks sosial, privilese sering kali merujuk pada akses mudah ke berbagai sumber daya seperti pendidikan, kesehatan, atau kesempatan hidup yang lebih baik. Memiliki orang tua yang mapan secara finansial, misalnya, merupakan salah satu bentuk privilese yang tidak dimiliki semua orang.
Privilese ini memungkinkan seseorang untuk mengakses pendidikan terbaik, jaringan sosial yang luas, hingga kemudahan finansial tanpa perlu banyak berjuang. Namun, di balik kelebihan itu, privilese juga dapat menjadi beban jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Bagi sebagian orang, privilese malah membuka peluang untuk terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan kenakalan remaja, sementara bagi yang lain, hal ini justru menjadi alat untuk menciptakan dampak positif yang lebih besar.
Privilese Sebagai Kesempatan dan Risiko
Tidak bisa dipungkiri, privilese memberikan banyak kemudahan. Anak-anak dari keluarga yang mapan memiliki kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri tanpa harus khawatir tentang kebutuhan dasar. Mereka bisa fokus belajar, mengeksplorasi minat, atau bahkan membangun masa depan yang lebih cerah.
Namun, seperti pisau bermata dua, privilese juga membawa risiko. Dengan segala kemudahan yang tersedia, tidak sedikit yang justru tergoda untuk menggunakannya ke arah yang keliru. Kehidupan yang terlalu nyaman sering kali membuat seseorang lupa akan tanggung jawabnya. Privilese tersebut membuka peluang kenakalan, seperti berfoya-foya, terlibat dalam perilaku negatif, atau bahkan kehilangan arah dalam hidup.
Sebagai contoh, berdasarkan laporan Kompas.com pada 8 Oktober 2023, terdapat 14 kasus anak pejabat publik yang terlibat dalam berbagai kasus hukum, mulai dari narkoba hingga pemerkosaan. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana privilese yang tidak dimanfaatkan dengan bijak dapat menjerumuskan seseorang ke dalam masalah serius.
Sebaliknya, ada juga yang mampu memanfaatkan privilese tersebut dengan baik. Mereka menyadari bahwa kelebihan yang dimiliki adalah amanah yang harus dijaga. Misalnya, Mutiara Annisa Baswedan, putri Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, menjadi salah satu delegasi dalam ajang prestisius simulasi PBB, Harvard National Model United Nations. Prestasi ini menunjukkan bagaimana privilese dapat dimanfaatkan untuk mencapai hal-hal positif.
Kontras dengan Perjuangan Mahasiswa dari Pelosok
Di sisi lain, para mahasiswa dari pelosok negeri membawa cerita yang berlawanan. Dengan keterbatasan yang mereka miliki, perjuangan menjadi nafas dalam setiap langkah. Biaya pendidikan yang tinggi, akses yang sulit ke sumber daya, hingga jarak yang jauh dari keluarga menjadi tantangan yang harus mereka hadapi setiap hari. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk melangkah maju.
Ada yang harus bekerja sambil kuliah demi membayar biaya pendidikan. Ada pula yang mengandalkan beasiswa atau donasi dari para dermawan. Setiap peluang yang datang, sekecil apa pun, dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Keterbatasan tidak pernah menjadi alasan untuk menyerah, melainkan menjadi motivasi untuk terus bergerak maju.
Dua Realitas, Satu Tujuan
Meski latar belakang mereka berbeda, baik mahasiswa yang lahir dari keluarga mapan maupun yang berasal dari pelosok memiliki tujuan yang sama: membangun masa depan yang lebih baik. Perbedaannya terletak pada cara mereka memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan.