Angka pernikahan yang menurun dalam beberapa dekade terakhir memunculkan banyak pertanyaan tentang perubahan besar yang terjadi di masyarakat, terutama terkait kesetaraan gender. Di Indonesia dan banyak negara lainnya, peningkatan kesetaraan gender tak hanya mendorong perempuan untuk memiliki karier dan kemandirian finansial, tetapi juga memberikan mereka kebebasan untuk lebih selektif dalam menentukan pasangan. Di sisi lain, kemapanan finansial pria yang dulu dianggap sebagai syarat utama untuk berumah tangga kini juga mengalami perubahan. Apa dampak dari semua ini bagi masa depan masyarakat?
1. Kemandirian Finansial Wanita yang Semakin Kuat
Dulu, kemapanan pria sering kali menjadi daya tarik utama dalam pernikahan, terutama karena pernikahan dianggap sebagai bentuk keamanan finansial bagi wanita. Namun, kesetaraan gender kini telah memungkinkan wanita untuk memiliki kemandirian finansial yang kuat. Semakin banyak perempuan di Indonesia yang berkarier, mengejar pendidikan tinggi, dan meraih posisi strategis di dunia kerja. Hal ini membuat wanita merasa tidak lagi harus tergantung pada pria untuk mencapai kemapanan ekonomi.
Ketika perempuan memiliki pendapatan yang setara atau bahkan lebih tinggi dari pria, ekspektasi mereka terhadap calon pasangan juga berubah. Wanita yang mapan secara finansial lebih cenderung mencari pasangan yang bisa memberikan dukungan emosional dan intelektual, bukan hanya dukungan finansial. Hal ini menyebabkan mereka lebih selektif dalam menentukan pasangan dan, sebagai akibatnya, banyak yang menunda atau bahkan memilih untuk tidak menikah.
2. Menurunnya Kemapanan Pria di Tengah Ketatnya Persaingan
Perubahan lain yang tampak adalah bahwa pria saat ini tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Dengan masuknya wanita dalam dunia kerja dan meningkatnya persaingan, pria dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan posisi ekonomi mereka. Kondisi ini diperparah dengan tingginya biaya hidup di kota-kota besar yang membuat banyak pria merasa belum cukup mapan untuk memulai rumah tangga.
Di sisi lain, standar sosial yang masih mengharapkan pria sebagai penopang utama finansial keluarga justru bisa menjadi tekanan tersendiri bagi mereka. Tekanan ini sering kali membuat pria merasa ragu untuk menikah jika mereka belum merasa memiliki kemapanan ekonomi yang stabil, sehingga berdampak pada menurunnya angka pernikahan.
3. Dinamika Baru dalam Hubungan dan Pembagian Peran dalam Keluarga
Dengan tingginya pendapatan perempuan, peran tradisional dalam keluarga juga mengalami perubahan. Di masa lalu, pria dianggap sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, sementara wanita bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan urusan rumah tangga. Namun, kini semakin banyak pasangan yang membagi peran dan tanggung jawab secara lebih setara, termasuk dalam hal finansial.
Perubahan ini menuntut adanya pola pikir baru, di mana pria juga bisa terlibat lebih aktif dalam pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga. Namun, tidak semua pria siap atau nyaman dengan perubahan ini, yang bisa menjadi alasan mengapa beberapa pria dan wanita merasa sulit menemukan pasangan yang sesuai dengan harapan mereka.
4. Dampak Jangka Panjang pada Struktur Sosial
Jika tren ini terus berlanjut, kita akan melihat pergeseran besar dalam struktur sosial di masa depan. Penurunan angka pernikahan dapat mengurangi tingkat kelahiran, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan populasi. Hal ini dapat berdampak pada struktur ekonomi dan tenaga kerja di masa depan, terutama ketika populasi usia produktif mulai menurun. Negara-negara dengan angka kelahiran rendah seperti Jepang dan Korea Selatan sudah merasakan dampak ekonomi akibat rendahnya angka pernikahan dan kelahiran.
Selain itu, jika wanita semakin dominan dalam pencapaian ekonomi, standar hidup dalam keluarga mungkin juga akan berubah. Kita bisa membayangkan masa depan di mana lebih banyak pasangan dengan dua pendapatan atau bahkan keluarga dengan wanita sebagai pencari nafkah utama. Hal ini menuntut adanya kebijakan dan fasilitas sosial baru yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga, seperti cuti orang tua yang lebih fleksibel dan layanan penitipan anak yang terjangkau.
5. Pilihan Hidup yang Lebih Beragam: Tidak Harus Menikah untuk Bahagia
Di masa lalu, pernikahan dianggap sebagai salah satu indikator kebahagiaan dan stabilitas sosial. Namun, dengan semakin terbukanya pilihan hidup, banyak orang merasa tidak harus menikah untuk bahagia atau merasa mapan. Mereka dapat memilih untuk fokus pada karier, perjalanan spiritual, atau proyek-proyek pribadi yang membuat hidup mereka lebih bermakna. Pilihan hidup ini menciptakan pola baru dalam masyarakat, di mana keluarga inti mungkin tidak lagi menjadi struktur utama dalam kehidupan sosial.
Masa Depan: Pernikahan yang Berbasis Kemitraan Seimbang
Penurunan angka pernikahan bukan berarti pernikahan akan hilang sama sekali, melainkan mendorong terbentuknya pernikahan yang lebih didasarkan pada kemitraan seimbang. Di masa depan, kita mungkin akan melihat pernikahan yang lebih egaliter di mana kedua pasangan saling mendukung, baik secara finansial, emosional, maupun dalam pengasuhan anak. Pria dan wanita akan melihat pernikahan sebagai sarana untuk berkembang bersama, bukan hanya sebagai cara untuk memenuhi tuntutan sosial atau ekonomi.
Dampak Negatif di Masa Depan
Penurunan angka pernikahan yang dipicu oleh meningkatnya kesetaraan gender dapat membawa sejumlah dampak negatif di masa depan, antara lain:
Penurunan Populasi Usia Produktif
Rendahnya angka pernikahan cenderung menurunkan tingkat kelahiran, yang pada akhirnya akan memengaruhi jumlah populasi usia produktif. Hal ini dapat mengakibatkan kekurangan tenaga kerja di masa depan dan menurunnya daya saing ekonomi.
Tingkat Ketergantungan Populasi Meningkat
Dengan lebih sedikit anak yang dilahirkan, populasi lansia akan meningkat dibandingkan populasi muda. Hal ini menciptakan beban bagi sistem pensiun dan layanan kesehatan, serta membutuhkan biaya negara yang lebih besar untuk mendukung populasi lanjut usia.
Kesepian dan Kesehatan Mental
Meskipun banyak orang memilih hidup mandiri, semakin sedikitnya pernikahan juga dapat menyebabkan rasa kesepian, terutama pada usia lanjut. Berkurangnya dukungan sosial dan keluarga bisa memengaruhi kesehatan mental mereka yang hidup sendiri, dan ini bisa berdampak pada kualitas hidup jangka panjang.
Perubahan Struktur Keluarga
Dengan makin sedikitnya orang yang memilih menikah dan memiliki anak, struktur keluarga akan berubah, yang bisa mengurangi fungsi sosial dan dukungan emosional yang biasanya diberikan oleh keluarga.
Kesenjangan Ekonomi
Kemandirian finansial yang tinggi pada sebagian wanita bisa menciptakan kesenjangan ekonomi dalam hubungan atau pernikahan. Dalam kasus di mana salah satu pasangan memiliki pendapatan yang jauh lebih besar, ketidakseimbangan ini dapat memicu konflik dalam hubungan dan mengurangi stabilitas rumah tangga.
Kesetaraan gender telah mengubah pandangan kita tentang banyak hal, termasuk tentang pernikahan. Di masa depan, mungkin pernikahan bukan lagi soal peran tradisional yang harus dipenuhi, melainkan pilihan sadar yang didasarkan pada keseimbangan, saling pengertian, dan kemitraan sejati. Secara keseluruhan, meskipun kesetaraan gender ada membawa dampak positif, ada tantangan yang perlu diatasi untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan sosial di masa depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H