Baju lebaran, sudah menjadi tradisi bagi kaum muslimin di Indonesia. Entah kalau di negara lain, saya belum tahu. Minimal 1 stel pakaian, biasanya dibeli oleh masyarakat muslim yang telah selesai berpuasa di bulan Ramadan.Â
- Setidaknya, baju lebaran menjadi hadiah bagi diri atas pencapaian menjalankan ibadah puasa selama sebulan.
Bicara baju lebaran ketika masa kecil, yang selalu teringat adalah saat Teteh (kakak perempuan saya yang ke-2), membeli dan memilihkan baju dan celana lebaran yang rada longgar, supaya awet dipakai.Â
"Ini saja supaya awet dipakai tahunan. Kamu kan masih masa pertumbuhan, nanti akan meninggi dan membesar, jadi baju dan celananya akan tahan dipakai beberapa tahun," kata Teteh saat memilihkan celana jeans untuk saya di Pasar Baru, Garut, tahun 90-an. Kenangan itu melekat hingga kini.Â
Karena perceraian yang dialami kedua orangtua, saya diasuh oleh kakak perempuan saya yang baru menikah. Sejak kelas 3 SD hingga lulus SMP.Â
Selepas SMP, saya pergi ke Cikajang, Garut, menemui Bapak saya, dan minta disekolahkan di Cikajang. Kalau terus ikut Teteh, kasihan. Dia sudah memiliki 3 anak kala itu.Â
Sepenggal kisah masa kecil saya, sudah saya tulis di cerpen : Suhada Akah, 25 Rupiah
Seperti halnya yang saya alami di masa kecil. Menjelang hari raya Iedul Fitri, bagi kalangan menengah ke bawah, membeli baju baru menjadi sebuah "kewajiban", alias tradisi yang cenderung sedikit memaksakan, agar mereka (terutama anak kecil), berbahagia memakai baju baru karena di bulan biasa jarang-jarang mampu membelinya.Â
Namun karena kebiasaan di masa kecil itu sudah tertanam dan melekat di memori, maka tradisi tersebut terbawa dan terus dilakukan hingga dewasa.Â
Saya, misalnya. Tetap merasa penasaran kalau lebaran tidak membeli baju baru, hehe. Kesannya kekanak-kanakan, tapi itulah budaya kita. Kalau untuk baju anak, setiap kali saya ingin membelikan anak saya baju, saya pasti belikan.Â
Tidak harus di momen lebaran. Paling tidak dua atau tiga bulan, anak saya harus pakai baju baru, meskipun bukan baju bermerk.Â