Wahai pembaca budiman, kisah pilu seorang yatim piatu ini semoga bermanfaat untuk Anda.Â
Kehidupan layaknya kopi. Kadang terlalu manis karena kebanyakan gula. Atau sebaliknya, terasa pahit di lidah akibat terlalu banyak kopinya. Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.Â
Kadangkala kita merasa dunia ini tidak adil karena diuji dengan kemalangan yang menimpa, padahal di dalam kesedihan yang muncul, mengandung hikmah yang luar biasa. Termasuk salah satunya ujian menjadi yatim piatu sejak kecil. Membuat seseorang berjiwa tegar, mandiri dan lebih dekat dengan Sang Pencipta.Â
SMAN 3 Banjar Kota Banjar tempat saya bertugas, saat ini memiliki 1028 siswa yang tersebar di 30 kelas. Dari ribuan siswa ini, tidak semuanya saya kenal, karena saya hanya mengajar di 5 kelas. Kelas XI sebanyak 4 rombel (rombongan belajar), dan kelas XII sebanyak 1 rombel.
Hari ini, saya tidak mengajar, tapi mendapatkan tugas mengawas pelaksanaan Penilaian Tengah Semester (PTS) di ruang 1. Peserta ruang 01 adalah siswa kelas X. 1 dan X.12. Meskipun tidak saya ajar, namun mereka menyambut saya dengan ramah saat saya memasuki ruangan. Mata pelajaran hari ini adalah Bahasa Sunda, Matematika dan Ekonomi.Â
Saat siswa sedang mengerjakan soal Bahasa Sunda, saya lihat banyak siswa yang tertegun, sebagian mengerutkan kening. Ada pula yang wajahnya murung. Terlihat sedih. Usut punya usut, ternyata ada salah satu soal Bahasa Sunda berbunyi "Pek ku hidep jieun sajak anu temana "Indung" atanapi "Bapa", paling saeutik 2 pada.".
Baca juga : Guru, Kelas Menengah yang Susah Kaya
Artinya, "Silahkan kamu buat sajak yang bertemakan "Ibu" atau "Ayah", paling sedikit 2 bait.".Â
"Saya bingung cara buatnya Pak, kalau bicara tentang orangtua, susah sekali mengungkapkannya, terlalu banyak jasa dan kebaikan ayah dan ibu," curhat seorang siswi. Â Â
"Tidak perlu bingung, kata-katamu barusan bisa dijadikan puisi lho. Tulislah isi hatimu, maka akan tercipta sebuah sajak yang indah dan menyentuh hati," kata saya sedikit lebay, he-he.   Â
Seorang siswa yang raut mukanya terlihat sedih saya hampiri saat ujian sudah selesai. Sedikit obrol sana sini, akhrnya dia bercerita bahwa kedua orangtuanya sudah tiada.Â
Rifal Okta Nurohman. Lahir di Dusun Cipicung, Desa Madusari, Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada 29 Oktober 2007.
Sang ayah, almarhum Udin Maryudin, meninggal karena sakit asma saat Rifal duduk di bangku SMP kelas 8. Sementara almarhumah ibunda, Ijah Hadijah, berpulang ke sisi-Nya pada Januari 2024. Sakit tulang belakang kronis telah merenggut nyawa sang ibu.Â
Kini, anak bungsu dari dua bersaudara ini hidup menyendiri di Kota Banjar. Dia nge-kost di dekat SMAN 3 Banjar, karena rumahnya di Wanareja berjarak cukup jauh, 20 Km. Ibu kostnya sangat baik. Sering memberi makanan ke Rifal.Â
Kota Banjar memang kota paling timur di Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Hingga tidak heran banyak siswa kami yang berasal dari wilayah Cilacap. Â
"Saya berpesan kepada teman-teman dan semua orang yang masih memiliki orangtua, bersyukurlah. Jangan sesekali melawan orangtua dan berbaktilah kepada mereka. Kalau sudah tidak ada, menyesal," kata Rifal dengan mata berkaca-kaca.
Rifal mengaku, sering menangis seorang diri manakala teringat mendiang ayah dan ibunya. Namun sekuat mungkin jiwanya berupaya tegar menghadapi ujian kehidupan ini. Sholat dan mengaji setiap hari, menjadi penguat kerapuhan batinnya.Â
Lantunan Yasin dan untaian do'a menjadi pengobat rindu kepada sang ibu yang telah melahirkannya ke dunia ini. Life must go on. Kehidupan harus terus berjalan Cita-citanya, setelah lulus SMA nanti, dia ingin melanjutkan kuliah. Kepedihan ditinggal orangtua dijadikannya sarana untuk belajar lebih mandiri.Â
"Alhamdulillah, saya punya paman, kakak dan kakak ipar yang peduli. Paman saya namanya Mang Sunar, kakak saya A Rifki, dan istrinya Teh Maya. Meski A Rifki hanya bekerja di Alfamart, tapi rela menyisihkan rezeki untuk saya. Sebulan sekali, Teh Maya transfer urunan ke paman, dan saya menerima transferan dari paman sebesar 1 juta rupiah per bulan. Paman saya sangat baik. Beliau pengusaha konveksi," tutur Rifal. Â
Rifal bertekad, suatu saat nanti setelah sukses, ingin membalas jasa paman dan bibinya, dan jasa kakak serta kakak iparnya yang sangat baik hati. Rifal sangat rajin belajar, tidak suka merokok (sesuai amanat almarhumah ibunya), dan tidak suka bergaul dengan anak-anak nakal.Â
Kebetulan, saya punya sahabat di daerah asal Rifal. Sri Andarwati, S.Pd., Â guru SDN 3 Madusari. Saya konfirmasi beliau melalui chat Whatsapp. "Benar. Dia siswa saya dulu waktu SD. Rifal anak baik. Nitip ya pak. Dia sudah yatim piatu,"Â kata Bu Sri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H