Salah satu hikmah yang diperoleh dengan menjadi anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) saya petik kemarin, Minggu, 11 Februari 2024, Â ketika harus menyebar undangan pencoblosan kepada pemilih (Model C Pemberitahuan). Namun sebelum menceritakan hikmah apakah itu, izinkan hamba menceritakan terlebih dahulu kronologinya, tuan-tuan Kompasianer budiman, he-he .Â
Baik ketua maupun anggota KPPS di TPS kami, semua kebagian tugas untuk menyebar undangan tersebut sesuai dengan lokasi tempat tinggal terdekat masing-masing. Termasuk saya. Tidak ada batasan generasi Z atau generasi lapuk, semua mendapat tugas secara adil.Â
Kami berdomisili di sebuah komplek perumahan bernama Perum Balokang Permai, sebuah perumahan elit (ekonomi sulit, he-he), yang merupakan salah satu perumahan tertua di Kota Banjar, Jawa Barat.Â
Perum Balokang ini terdiri dari Blok A, B, C dan D. Saya beserta keluarga, berdomisili di Blok D, RT 47 RW 15. Blok yang kami tinggali memiliki 7 ruas jalan, yang kami sebut Gang, tapi sebenarnya, ruas jalan yang kami sebut gang ini merupakan jalan yang cukup lebar, sekira 2,5 meter, cukup untuk melintas dua buah mobil yang berpapasan. Saya sendiri tinggal di Gang 4.
KPPS kami, adalah KPPS 31, yang DPT nya terdiri dari sebagian penduduk RT 47, dan sebagian warga RT 48. Dengan jumlah total DPT sebanyak 258 pemilih. Saya kebagian tugas untuk menyebarkan undangan Pemilu kepada tetangga terdekat yang berada di Gang 4 serta sebagian warga Gang 3.Â
Di pagi hari sekitar pukul 7, saya menyebar undangan tersebut tidak memakai alat transportasi, cukup berjalan kaki. Sengaja saya niatkan menyebar undangan, sembari berolahraga, karena sudah lama saya tidak olahraga, seringnya olah rasa, he-he.Â
Saya mulai dari yang terjauh dulu. Rumah Pak Alex Soopmala, yang paling dekat dengan jalan raya. Dari rumah kami ke jalan raya, kondisi jalan menurun. Tidak tajam sih, kurang lebih 30 derajat kemiringannya.Â
Minat masyarakat untuk berpartisipasi di pesta demokrasi ternyata tinggi. Sebelum tiba di rumah Pak Alex, saya dicegat oleh Pak Asep Muharram di halaman rumah Pak Edi Purwanto. Pak Asep meminta undangan Pemilu untuk beliau dan istrinya didahulukan. Semangat sekali beliau, He-he.
Saya pun menyetujuinya. Di beranda rumah pak Edi, saya berikan undangan untuk pak Asep dan Bu Elin, istrinya. Sekaligus pula saya berikan undangan untuk Pak Edi beserta anak dan mantunya.Â
Berbincang-bincang sejenak bersama Pak Edi dan Pak Asep, sedikit bercanda Pak Asep menggoda saya selaku KPPS.Â
"Wah pak Encang sebentar lagi mobilnya ganti jadi Pajero ya, dari gaji KPPS," kata pak Asep.Â
Saya dan Pak Edi tertawa. Karena kesibukan di tempat kerja masing-masing, kami jarang berkumpul seperti ini. Pak Asep bekerja di Kementerian Agama Kota Banjar, dan Pak Edi adalah pensiunan di Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy.Â
Menurut saya, ada budaya unik yang terbentuk di kompleks perumahan, dan ini mungkin terjadi di perumahan manapun. Seorang istri atau ibu rumah tangga, jarang dikenal nama aslinya oleh tetangganya. Biasanya, mereka akan dipanggil sesuai nama suaminya. Misal, jika nama suaminya Pak Saryo, maka istrinya akan disapa Bu Saryo oleh orang-orang di lingkungannya. Tidak seperti halnya di pemukiman biasa (perkampungan), ibu-ibu akan dipanggil sesuai namanya masing-masing.Â
Di tempat tinggal ibu saya, misalnya, di Kampung Kalapadua Cilawu, Kabupaten Garut, identitas seorang ibu rumah tangga akan diketahui oleh warga lingkungannya, misalnya Ceu Imas, istrinya Mang Ade. Teh Aton, istrinya A Opik. Semua ibu-ibu dikenal nama aslinya. Berbeda halnya di perumahan tempat saya tinggal. Mungkin di tempat teman-teman Kompasianer juga sama ya? Apalagi yang tinggal di perkotaan.Â
Nah, dengan menjadi anggota KPPS yang memegang DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan menyebar undangan, akhirnya saya jadi tahu nama-nama istri dari orang-orang yang sudah belasan tahun menjadi tetangga saya. He-he.Â
Misalnya, saya jadi tahu kalau Bu Saryo itu nama aslinya Bu Romlah, Bu Purnama nama aslinya Bu Lilis, Bu Asep nama aslinya Bu Wida, dan nama-nama lainnya, pokoknya kalau saya sebutkan semuanya, nanti keburu adzan subuh, he-he.Â
Selama beberapa jam menyebar undangan, ada nilai silaturahmi yang terbangun antara saya dan tetangga. Selama ini, kami hanya saling sapa sejenak jika bertemu di mesjid, atau ketika berpapasan di jalan.Â
Dengan menyambangi rumah mereka, saya menjadi lebih dekat secara emosional. Ada beberapa tetangga yang baru saya masuki rumahnya kemarin setelah sekian belas tahun bertetangga. Tanpa disadari, nilai silaturahmi terbangun di antara kami, meski hanya berbincang selama beberapa menit.
"Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dan dipanjangkan umurnya, maka sambungkanlah silaturahmi"Â (Al hadist, riwayat Bukhori Muslim)
Bercerita tentang keluarga, kegiatan sehari-hari, dan sekilas tentang hobi diselingi guyon ala bapak-bapak. Â Di setiap akhir obrolan dengan warga, tak lupa, saya mengingatkan untuk hadir tepat pada waktunya, Rabu 14 Februari pukul 07.00 hingga pukul 13.00 sambil membawa bukti undangan serta KTP.Â
Oh iya, dari DPT yang ada pun, tidak semuanya ada di tempat. Misalnya anak dan menantu Pak Saryo yang merantau di Indramayu, namun masih terdaftar DPT di Kota Banjar. Kabarnya, mereka sengaja akan mudik di H-1, mau mencoblos sekalian kumpul-kumpul bareng keluarga.Â
Ada pula beberapa nama di DPT, tapi orangnya sudah meninggal dunia bebeapa bulan lalu. Keluarganya telat melaporkan hingga masih tercatat di DPT. Ada pula yang meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Innalilahi wa innailaihi roji'un. Semoga amal ibadah mereka di terima Allah SWT, dan diampuni segala dosanya.Â
Pukul 11, tugas saya telah selesai. Saya pun bergegas ke lapang badminton di depan Madrasah Diniyah Al Huda, tempat didirikannya tenda TPS 31. Tenda yang megah telah berdiri. Tidak hanya layak untuk dijadikan arena pencoblosan, tapi cukup untuk acara pernikahan, he-he.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H