Berbincang-bincang sejenak bersama Pak Edi dan Pak Asep, sedikit bercanda Pak Asep menggoda saya selaku KPPS.Â
"Wah pak Encang sebentar lagi mobilnya ganti jadi Pajero ya, dari gaji KPPS," kata pak Asep.Â
Saya dan Pak Edi tertawa. Karena kesibukan di tempat kerja masing-masing, kami jarang berkumpul seperti ini. Pak Asep bekerja di Kementerian Agama Kota Banjar, dan Pak Edi adalah pensiunan di Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy.Â
Menurut saya, ada budaya unik yang terbentuk di kompleks perumahan, dan ini mungkin terjadi di perumahan manapun. Seorang istri atau ibu rumah tangga, jarang dikenal nama aslinya oleh tetangganya. Biasanya, mereka akan dipanggil sesuai nama suaminya. Misal, jika nama suaminya Pak Saryo, maka istrinya akan disapa Bu Saryo oleh orang-orang di lingkungannya. Tidak seperti halnya di pemukiman biasa (perkampungan), ibu-ibu akan dipanggil sesuai namanya masing-masing.Â
Di tempat tinggal ibu saya, misalnya, di Kampung Kalapadua Cilawu, Kabupaten Garut, identitas seorang ibu rumah tangga akan diketahui oleh warga lingkungannya, misalnya Ceu Imas, istrinya Mang Ade. Teh Aton, istrinya A Opik. Semua ibu-ibu dikenal nama aslinya. Berbeda halnya di perumahan tempat saya tinggal. Mungkin di tempat teman-teman Kompasianer juga sama ya? Apalagi yang tinggal di perkotaan.Â
Nah, dengan menjadi anggota KPPS yang memegang DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan menyebar undangan, akhirnya saya jadi tahu nama-nama istri dari orang-orang yang sudah belasan tahun menjadi tetangga saya. He-he.Â
Misalnya, saya jadi tahu kalau Bu Saryo itu nama aslinya Bu Romlah, Bu Purnama nama aslinya Bu Lilis, Bu Asep nama aslinya Bu Wida, dan nama-nama lainnya, pokoknya kalau saya sebutkan semuanya, nanti keburu adzan subuh, he-he.Â
Selama beberapa jam menyebar undangan, ada nilai silaturahmi yang terbangun antara saya dan tetangga. Selama ini, kami hanya saling sapa sejenak jika bertemu di mesjid, atau ketika berpapasan di jalan.Â
Dengan menyambangi rumah mereka, saya menjadi lebih dekat secara emosional. Ada beberapa tetangga yang baru saya masuki rumahnya kemarin setelah sekian belas tahun bertetangga. Tanpa disadari, nilai silaturahmi terbangun di antara kami, meski hanya berbincang selama beberapa menit.
"Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dan dipanjangkan umurnya, maka sambungkanlah silaturahmi"Â (Al hadist, riwayat Bukhori Muslim)
Bercerita tentang keluarga, kegiatan sehari-hari, dan sekilas tentang hobi diselingi guyon ala bapak-bapak. Â Di setiap akhir obrolan dengan warga, tak lupa, saya mengingatkan untuk hadir tepat pada waktunya, Rabu 14 Februari pukul 07.00 hingga pukul 13.00 sambil membawa bukti undangan serta KTP.Â
Oh iya, dari DPT yang ada pun, tidak semuanya ada di tempat. Misalnya anak dan menantu Pak Saryo yang merantau di Indramayu, namun masih terdaftar DPT di Kota Banjar. Kabarnya, mereka sengaja akan mudik di H-1, mau mencoblos sekalian kumpul-kumpul bareng keluarga.Â