Bagi saya, berwisata ke Pantai Pangandaran adalah kegiatan berulang yang tidak pernah membosankan. Dengan keindahan alam yang menakjubkan dan beragamnya pengalaman yang ditawarkan, berwisata ke Pangandaran adalah destinasi yang tidak boleh dilewatkan bagi siapapun. Begitu pula saat Mrs. Shellee, guru mitra kami dari Australia, mengunjungi sekolah kami selama 2 pekan. Â
Di akhir pekan, kami membawa beliau ke pantai Pangandaran. Di hari Sabtu yang cerah, saya dan Krisma Yuanti menjemput Mrs. Shellee ke Guest House tempatnya menginap. Pukul 8 kami berangkat, hanya dua jam dengan perjalanan santai kami sudah tiba di pantai barat Pangandaran.
Tiba di pantai, Mrs. Shellee begitu takjub melihat indahnya pantai yang bersih. Kami lantas menyewa sebuah perahu untuk melintasi laut, menyebrang ke pasir putih. Pantai yang lembut diapit oleh tebing-tebing serta batu karang yang memberikan pemandangan mempesona. Sebelum ke Pasir Putih, tukang perahu membawa kami perbatasan laut lepas, tempat kapal-kapal besar singgah. Betapa indah, namun ada juga rasa takut he-he.
Terlihat pula kapal asing yang ditenggelamkan oleh Bu Susi sewaktu menjadi menteri Kelautan. Kapal itu terjungkir hampir tiga perempat badannya. Wah kalau dikilo dan dijual ke tukang rongsokan, lumayan juga, he-he.
"Bu Shellee belum pernah ke sini kan?", tanyaku penasaran. Mrs. Shelee menggelengkan kepala.
"Kami sempat berlibur ke Bali dan Lombok selama dua minggu," katanya. Dia bercerita, keindahan pantai Pangandaran tidak kalah dibanding pantai-pantai di Bali dan Lombok.
Kupandangi samudra biru yang luas. Ombak menerpa perahu yang kami tumpangi dalam berbagai bentuk dan ukuran, membawa pesan kekuatan alam yang tak terbendung. Semakin menyadarkan diri, bahwa kita adalah mahluk lemah tak berdaya, tidak ada apa-apanya dibanding kekuasaan Sang Pencipta.
Di Pasir Putih kami bersantai ria. Bercerita segala hal tentang kehidupan keluarga kami masing-masing. Mrs. Shellee merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, Timothy, tinggal di Sidney bersama kedua orangtuanya, sementara Shellee bersama suaminya, Steve, dan kedua anaknya, Nicholas dan Aemee, tinggal di Canberra.
Kami menyusuri pantai, berjalan di atas karang, sesekali duduk di bebatuan kering. Persahabatan kami ini terbentuk begitu alami. Meski berbeda agama, budaya, dan melintasi benua, namun hal itu tidak jadi penghalang bagi kami untuk menjalin indahnya  persaudaraan sebagai sesama guru, yang terjalin kerjasama dalam sebuah program.
"Kalian begitu baik. Terimakasih atas semuanya," kata Mrs. Shellee.
"Hanya ini yang bisa kami lakukan, Bu Shellee, mohon maaf jika kurang berkenan," kata rekan saya, Krisma Yuanti berbasa basi.
"Sewaktu kami berada di Aussy pun, Bu Shellee memperlakukan kami dengan sangat baik, kami ingin membalas kebaikan Bu Shellee semampu kami," kata saya sedikit beretorika, he-he.
Ya. Selama kami berada di Canberra, Mrs. Shellee dan keluarganya begitu memperhatikan kami. Mengajak kami berwisata keliling Canberra. Mengunjungi tempat-tempat indah dan luar biasa. Nanti akan saya ceritakan di episode dan gelombang yang berbeda, he-he.
Beberapa jam kami menikmati indahnya Pasir Putih. Tiba waktunya sholat dzuhur, saya dan Krisma sholat di mushola yang ada di cagar alam. Selama berjalan dari pantai ke mushola, terlihat puluhan kera meloncat ke sana kemari mencari makanan. Tapi mereka baik-baik, tidak mengganggu kami. Mungkin menganggap saya sebagai saudara jauh yang datang menengok, he-he.
Di dalam mushola, Mrs. Shellee dengan sabar menunggu kami. Begitu damai dan indahnya toleransi yang dibangun. Selama saya berada di Australia pun, saya tidak dihalangi untuk sholat, malahan Steve, menjaga saya ketika harus tayamum dan sholat di dalam mobil.
Makan seafood di restoran pinggir pantai Timur, adalah kenikmatan yang tiada banding. Semilir angin yang menerpa dari arah pantai, perahu-perahu dan kapal kecil dari kejauhan, melengkapi indahnya pemandangan serta menambah lezatnya ikan kakap merah dan cumi yang kami nikmati. Mrs. Shellee video call suaminya, Steve. Berkali-kali Steve mengucapkan terimakasih kepada kami, karena telah membawa jalan-jalan istrinya.
"Pemandangan yang indah. Kami akan berlibur ke Pangandaran pertengahan 2024," kata Steve.
"Baik, kami tunggu pak Steve," kata saya. Senyuman Steve mengembang. Begitu senang melihat istrinya bahagia berada di Pangandaran.
Setelah perut kami penuh, Krisma dan Mrs. Shellee berkeliling untuk membeli souvenir. Daster dan kaos bertuliskan pantai Pangandaran untuk Nicholas dan Aemee. Saya tidak ikut berbelanja, karena sudah paham, kalau emak-emak sedang shopping, pasti lama. He-he. Saya menikmati kopi di pinggir pantai Timur, sembari memandangi deburan ombak dan lalu lalang orang.
Tak terasa, sore hari telah tiba. Kami pun menunggu terbenamnya sang Surya di pantai barat. Pesona alam yang begitu memanjakan mata. Semburat cahaya surya, yang mulai menuju peraduannya di ujung laut sana, menjadi aura magis tersendiri yang sangat menyenangkan batin yang tak hentinya mengucap syukur atas keindahan yang disuguhkan Yang Maha Kuasa.
Selesai berfoto ria. Kami bergegas pulang, dan mampir sholat magrib terlebih dahulu di mesjid agung Pangandaran. Mrs. Shellee ikut masuk ke mesjid, karena katanya takut kalau menunggu di luar. Pulang kembali ke Kota Banjar Patroman dengan membawa sejuta kenangan. Di perjalanan, Â Mrs. Shellee berkali-kali mengucapkan terimakasih. Kami kembali bercerita banyak hal di dalam mobil, hingga akhirnya tak terasa sudah tiba di Guest House pukul 9 malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H